Syarat dari AS Jika TikTok Tidak Mau Diblokir: Jual ke Perusahaan Non-China Halaman all - Kompas

 

Syarat dari AS Jika TikTok Tidak Mau Diblokir: Jual ke Perusahaan Non-China Halaman all - Kompas

KOMPAS.com - Pemerintah Amerika Serikat "menodong" ByteDance agar melepas media sosial TikTok atau diblokir di pasar AS melalui rancangan undang-undang soal divestasi dan pemblokiran TikTok.

RUU itu diloloskan DPR AS melalui kongres. Selanjutnya, UU yang menargetkan TikTok ini disebut segera diundangkan dan ditandatangani oleh Presiden AS, Joe Biden.

Undang-undang ini menawarkan dua pilihan kepada TikTok. Pertama adalah TikTok wajib membuat perusahaan tersendiri di AS. Artinya, ByteDace harus divestasi dan menjual TikTok ke perusahaan lain non-China.

Pilihan kedua adalah TikTok diblokir di AS. Apabila diblokir, diestimasikan ada 170 juta pengguna TikTok di AS yang tidak dapat lagi mengakses platform berbagi video pendek itu lagi.

MK: Endorsment Tidak Melanggar Hukum

Jumlah 170 juta orang tersebut merupakan jumlah pengguna aktif AS yang menggunakan TikTok. Angka tersebut bisa dikatakan paling banyak secara global.

Posisi keduanya adalah oleh Indonesia dengan jumlah pengguna aktif sebanyak 126,8 juta per awal 2024, menurut laporan lembaga riset DataReportal.

Menurut Wall Street Journal, lewat UU baru ini, pemerintahan Presiden AS Joe Biden ingin ByteDance melepaskan diri dari TikTok untuk menciptakan pemisahan yang jelas dari China.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa AS memiliki hubungan politik yang tak harmonis dengan Negeri Tirai Bambu.

TikTok sendiri merupakan anak perusahaan dari Bytedance, dan Bytedance diduga memiliki kaitan erat dengan Partai Komunis China. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di badan Kongres AS, bahwa China bisa saja menggunakan data warga AS yang ada di TikTok untuk memata-matai aktivitas warga AS.

Baca juga: DPR AS Loloskan UU Larangan TikTok

Kepemilikan saham ByteDance

Saat ini, TikTok beroperasi di bawah perseroan terbatas yang berbasis di Los Angeles, AS dan Singapura. Namun, pada dasarnya, TikTok tetap dimiliki ByteDance, perusahaan teknologi yang berbasis di Haidian, Beijing, China.

Menurut rilis yang diterbitkan oleh TikTok pada Mei 2023, sekitar 60 persen saham ByteDance dimiliki oleh investor termasuk perusahaan investasi besar AS seperti General Atlantic, Susquehanna Capital, dan Sequoia Capital.

Sebesar, 20 persen saham ByteDance dimiliki oleh pendirinya, Zhang Yiming. Namun, Zhang memegang lebih dari 50 persen hak suara ByteDance, kata sumber yang dekat dengan isu ini.

Kemudian, 20 persen sisanya dimiliki oleh karyawan TikTok di seluruh dunia. Tiga dari lima anggota dewannya adalah orang Amerika.

Namun, cengkeraman pemerintah China terhadap perusahaan-perusahaan swasta dalam beberapa tahun terakhir membuat AS khawatir mengenai seberapa besar kendali yang dimiliki Partai Komunis China terhadap ByteDance dan data yang dimilikinya.

Makanya, AS bersikukuh ingin ByteDance melepas TikTok, atau TikTok diblokir di AS.

Diberi waktu maksimal 9 bulan

Beberapa negara sudah melarang penggunaan aplikasi TikTok.

Lihat Foto

Di bawah aturan perundang-undangan TikTok yang baru, ByteDance harus segera menjual aplikasi TikTok-nya ke perusahaan non-China dalam kurun waktu enam bulan. Bila dihitung enam bulan dari sekarang, maka ByteDance harus melepas TikTok pada Oktober 2024.

TikTok akan diberi waktu tambahan tiga bulan apabila diperlukan. Tambahan waktu bakal diberikan untuk memperlancar proses transaksi apabila ada pembeli yang tertarik membeli aplikasi TikTok.

Jika hal ini terealisasikan, ByteDance bisa dikatakan merugi. Tidak hanya kehilangan aplikasi “kesayangannya”, ByteDance tidak akan dapat mengakses algoritma untuk menyuguhkan konten video sesuai minat dari para pengguna. Mekanisme algoritma TikTok ini pasalnya adalah kunci dari kesuksesan platform.

Ancam kebebasan bersuara

Undang-undang ini sejatinya mulai digodog DPR AS pada awal Maret lalu, yang diberi nama “Protecting Americans from Foreign Adversary Controlled Applications Act (Perlindungan Warga dan Aplikasi yang Dikendalikan Pesaing Asing).

Baca juga: Riset: 41 Persen Warga AS Setuju TikTok Diblokir

Selama proses voting anggota DPR soal aturan baru TikTok, ada juga beberapa pihak yang tidak setuju jika TikTok harus diblokir dari Amerika Serikat. Ultimatum pemblokiran disebut-disebut tidak sesuai dengan semangat dan prinsip negara Amerika Serikat.

“Mengancam melakukan pemblokiran tidak sesuai dengan semangat bangsa Amerika Serikat, yakni kebebasan berekspresi,” ungkap Senator Rand Paul, salah satu perwakilan Partai Republik yang tidak setuju soal aturan ini.

Menanggapi UU baru ini, TikTok juga sudah mengajukan surat keberatannya. Menurut pihak TikTok, keputusan DPR AS ini sama saja membatasi hak kebebasan berbicara dari 170 juta orang Amerika (pengguna aktif TikTok).

“Sangat disayangkan bahwa kongres (DPR) berlindung di balik bantuan asing dan kemanusiaan yang penting untuk menekan hak kebebasan berbicara 170 juta orang Amerika, 7 juta pelaku bisnis, dan menutup platform yang berhasil menyumbang 24 miliar dollar AS (sekitar Rp 389 triliun) untuk perekonomian AS tiap tahunnya,” tulis TikTok.

Di luar pemerintahan, CEO SpaceX dan Tesla Elon Musk juga menyuarakan pendapatnya lewat akun X Twitter pribadinya (@elonmusk). Menurut Muk, pelarangan TikTok jelas bertentangan dengan kebebasan berekspresi.

“Seharusnya TikTok tidak dilarang di AS, meski larangan tersebut mungkin saja menguntungkan platform X (dulu Twitter). Melakukan (pemblokiran) akan bertentangan dengan kebebasan berbicara dan bereskpresi. Itu bukan prinsip dari AS,” tulis Musk.

In my opinion, TikTok should not be banned in the USA, even though such a ban may benefit the ???? platform.

Doing so would be contrary to freedom of speech and expression. It is not what America stands for.

— Elon Musk (@elonmusk) April 19, 2024

Lawan lewat jalur hukum

TikTok telah mengindikasikan bahwa mereka kemungkinan akan mengajukan keberatan ke pengadilan. Hal ini merupakan upaya untuk memblokir undang-undang tersebut jika undang-undang tersebut benar-benar ditandatangani.

TikTok menyebut, bahwa undang-undang tersebut akan menghilangkan hak Amandemen Pertama jutaan pengguna aplikasi.

Adapun Amendemen Pertama (Amendment I) Konstitusi Amerika Serikat melarang DPR AS membuat undang-undang yang isinya membentuk suatu agama, melarang praktik agama secara bebas, serta menghambat kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk berkumpul secara damai, dan kebebasan untuk menyampaikan petisi kepada pemerintah terkait dengan ganti rugi atas keluhan mereka.

“Kami tidak akan berhenti berjuang dan mendukung Anda,” kata CEO TikTok Shou Zi Chew dalam sebuah video yang diposting di TikTok tersebut bulan lalu dan ditujukan kepada pengguna aplikasi tersebut.

“Kami akan terus melakukan semua yang kami bisa, termasuk menggunakan hak hukum kami, untuk melindungi platform luar biasa yang kami bangun bersama Anda,” lanjut Chew.

TikTok mempunyai alasan kuat untuk menganggap bahwa gugatan hukum bisa berhasil. Hal ini mengingat TikTok berhasil menang dalam beberapa perselisihan hukum mengenai operasinya di AS.

Misalnya, pada bulan November, seorang hakim federal memblokir undang-undang Montana yang akan melarang penggunaan TikTok di seluruh negara bagian.

Pada tahun 2020, pengadilan federal memblokir perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Presiden Donald Trump saat itu untuk melarang TikTok setelah perusahaan tersebut menggugat dengan alasan bahwa perintah tersebut melanggar kebebasan berbicara dan hak proses hukum.

Baca juga: TikTok Diblokir di Banyak Negara, Ada Apa?

Ketika itu, Pemerintahan Trump pun menjadi perantara kesepakatan yang akan membuat perusahaan AS Oracle dan Walmart mengambil saham besar di TikTok. Penjualan tidak pernah berhasil karena beberapa alasan; salah satunya adalah China, yang menerapkan kontrol ekspor yang lebih ketat terhadap penyedia teknologinya.

Lusinan negara bagian dan pemerintah federal telah memberlakukan larangan TikTok pada perangkat pemerintah.

Larangan di Texas ditentang tahun lalu oleh The Knight First Amendment Institute di Universitas Columbia, yang menyatakan dalam gugatannya bahwa kebijakan tersebut menghambat kebebasan akademik karena kebijakan tersebut juga diterapkan di universitas negeri. 

TikTok telah melakukan lobi keras terhadap undang-undang tersebut, mendorong 170 juta pengguna aplikasi tersebut di AS (banyak di antaranya berusia muda) untuk berbicara ke Kongres dan menyuarakan oposisi.

Sejak pertengahan Maret, TikTok telah menghabiskan 5 juta dollar AS (sekitar Rp 81 miliar) untuk iklan TV yang menentang undang-undang tersebut, menurut AdImpact, sebuah perusahaan pelacakan iklan.

Iklan tersebut menampilkan sejumlah pembuat konten, termasuk seorang biarawati, yang memuji dampak positif platform tersebut terhadap kehidupan mereka dan berpendapat bahwa pelarangan akan menginjak-injak Amandemen Pertama, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Associated Press, Senin (22/4/2024).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Komentar

Baca Juga

Opsi Media Informasi Group

Arenanews

Berbagi Informasi

Kopiminfo

Liputan Informasi 9

Media Informasi

Opsi Informasi

Opsiin