Lebih dari Sistem Pembayaran, QRIS adalah Simbol Perlawanan dan Kedaulatan Ekonomi Digital Indonesia

Langkah Indonesia memperkuat sistem pembayaran nasional melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) bukan hanya soal efisiensi transaksi digital.
Lebih dari itu, QRIS mencerminkan upaya strategis Indonesia melepaskan diri dari dominasi sistem pembayaran global yang selama ini dikendalikan oleh negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat.
QRIS kini bukan sekadar alat bayar—melainkan simbol kedaulatan. Ia adalah bentuk perlawanan ekonomi digital terhadap hegemoni global yang tidak selalu adil bagi negara berkembang.
QRIS dan Gerbang Pembayaran Nasional, Jalan Menuju Kemandirian
Sejak diluncurkan, QRIS menjadi bagian integral dari inisiatif Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan menumbuhkan ekosistem transaksi dalam negeri yang independen.
QRIS, yang dikelola penuh oleh Bank Indonesia, dirancang untuk meniadakan ketergantungan terhadap sistem asing seperti Visa dan Mastercard.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Airlangga, Probo Darono Yakti, menyebut QRIS sebagai langkah konkret menuju kedaulatan ekonomi digital:
“QRIS dikelola penuh oleh Bank Indonesia dan menjadi cermin bagaimana negara ingin berdaulat atas transaksi keuangannya,” jelasnya.
Kritik AS: Antara Kepentingan Global dan Hegemoni
Kritik Amerika Serikat terhadap sistem pembayaran berbasis QRIS memunculkan pertanyaan: apakah keberatan tersebut murni karena regulasi, atau bentuk tekanan atas dominasi yang terancam?
Probo menilai respons AS lebih menunjukkan kecenderungan menekan negara-negara berkembang agar tunduk pada sistem yang selama ini dikendalikan negara Barat.
“AS selalu mencari alasan untuk mengatakan Indonesia tidak fair, sementara mereka sendiri seakan memaksakan bahwa sistem pembayaran harus melalui Visa dan MasterCard,” ungkapnya.
Baginya, inilah bentuk permainan zero sum game yang menyulitkan negara seperti Indonesia memperoleh posisi tawar yang seimbang dalam sistem global.
Strategi Ganda dan Diplomasi yang Cerdik
Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana tetap menjaga hubungan baik dengan kekuatan ekonomi besar seperti AS, sembari memperkuat posisi tawar di arena global? Menurut Probo, jawabannya ada pada pendekatan dual strategy.
“Kita tidak bisa serta-merta memutus hubungan dengan AS, tapi juga tidak boleh hanya bergantung pada satu kekuatan global. Kerja sama dengan mitra non-Barat perlu diperkuat tanpa mengesampingkan kepentingan nasional,” jelasnya.
Ia mencontohkan potensi kerja sama konkret seperti perdagangan berbasis nilai tambah dengan negara-negara Afrika, misalnya Ghana yang merupakan produsen kakao, dan Indonesia sebagai produsen olahan cokelat. Selain itu, peluang dari keanggotaan Indonesia di BRICS juga dapat menjadi arena baru memperkuat kemandirian ekonomi.
Namun demikian, Probo mengingatkan, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS bisa memicu sensitivitas AS. Untuk itu, diplomasi ekonomi yang elegan dan terukur sangat dibutuhkan.“
"Indonesia harus cerdik. Bangun aliansi, perkuat daya tawar, dan cari exit strategy di setiap tekanan. Kedaulatan ekonomi tidak cukup hanya diklaim, tapi harus dibuktikan dalam tindakan nyata,” pungkasnya.
Sehingga, QRIS bukan sekadar teknologi pembayaran. Di tengah tekanan dan dominasi sistem global, QRIS menjadi representasi semangat Indonesia untuk berdiri di atas kaki sendiri. Di balik kode-kode digital itu, tersimpan narasi besar tentang perlawanan, strategi, dan cita-cita kedaulatan ekonomi yang harus terus diperjuangkan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Tidak ada komentar:
Posting Komentar