Sinarmas Sekuritas Ungkap Alasan Kendaraan Listrik Belum Jadi Idola
Tren harga baterai kendaraan listrik sejak 2022 mengalami kenaikan signifikan tidak akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang membuat harga nikel meningkat yang mendorong ongkos produksi baterai melonjak.
Liputan6.com, Jakarta Deputy Head of Research SimInvest (Sinarmas Sekuritas), Inav Haria Chandra menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan banyak masyarakat secara global masih tidak nyaman dengan kendaraan listrik (EV).
Faktor pertama adalah terkait harga kendaraan listrik yang masih belum terjangkau jika dibandingkan dengan kendaraan mesin internal combustion engine (ICE).
“Harga kendaraan listrik masih lebih mahal 50 persen dibandingkan kendaraan normal karena selisihnya bersumber dari harga baterai yang masih mahal,” kata Inav dalam webinar SimInvest, Rabu (27/3/2024).
Inav menambahkan, tren harga baterai sejak 2022 mengalami kenaikan signifikan tidak akibat konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang membuat harga nikel meningkat yang mendorong ongkos produksi baterai melonjak.
“Meskipun begitu, menurut Inav, ke depan akan ada penurunan harga baterai dari sekitar USD 140 per KiloWatt per jam bisa mencapai di bawah USD 100,” jelas Inav.
Kemudian faktor kedua adalah terkait jarak tempuh kendaraan listrik yang jika dibandingkan kendaraan bensin masih lebih kuat kendaraan bensin, tetapi Inav mengungkapkan, masalah ini ke depan akan bisa diselesaikan.
Faktor ketiga adalah waktu pengecasan. Jika dibandingkan kendaraan bensin, mengisi bahan bakar mungkin membutuhkan waktu sekitar 5 menit, tetapi untuk kendaraan listrik perlu waktu setengah jam paling cepat.
* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Outlook Pasar Nikel ke Depan
Inav menjelaskan pada 2022 pasar Nikel mengalami defisit akibat perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan gangguan supply chain pasar Nikel. Sedangkan pada 2023 terjadi surplus moderat di pasar Nikel.
“Kondisi ini bertahan sampai 2024. Adapun untuk 2025 hingga 2030 kita expect Nikel masuk lagi ke fase defisit. Kontributor surplus pada 2023-2024 tidak terlepas dari melimpahnya produksi Indonesia karena banyak proyek yang beroperasi,” ujarnya.
Inav menambahkan, ke depan pihaknya memprediksi tren kenaikan produksi sampai 2025. Namun ada tantangan pada 2026 yang kembali defisit. Kondisi ini, menurut Inav dapat menjadi peluang bagi yang memiliki bisnis Nikel.
“Karena memang mencari Nikel di kondisi global saat ini pilihannya sangat terbatas paling di Indonesia atau Filipina. Secara keseluruhan ini sebuah peluang di industri Nikel,” pungkasnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Baca Juga
Komentar
Posting Komentar