Kecerdasan Buatan, Dunia Internasional
Batasi Chip AI, AS Tekan Jepang dan Belanda Lepaskan Perangkat China | Halaman Lengkap

AS Tekan Jepang dan Belanda Lepaskan Perangkat China. FOTO/ CNET
- Presiden
Amerika SerikatDonald Trump tengah mengkaji aturan baru untuk memperketat ekspor prosesor AI canggih ke luar negeri.
Selain itu, AS juga berupaya meyakinkan sekutunya Jepang dan Belanda agar perusahaan teknologi seperti Tokyo Electron dan ASML menghentikan layanan pemeliharaan peralatan mereka di China.
Langkah ini diperkirakan akan semakin menyulitkan industri semikonduktor China, tetapi juga dapat berdampak negatif bagi sekutu AS.
Pembatasan AI Semakin Ketat
Sebelum meninggalkan Gedung Putih pada Januari lalu, pemerintahan Presiden Joe Biden memperkenalkan aturan ekspor baru yang dikenal sebagai AI Diffusion Rule. Berdasarkan aturan ini, hanya negara-negara sekutu utama AS (Tier 1) yang dapat mengimpor prosesor AI canggih seperti GPU Nvidia H100 tanpa batasan.
Negara lain dalam kategori Tier 2 harus mendapatkan status Validated End User (VEU) agar dapat mengakses chip AI dengan jumlah terbatas. Sementara itu, negara-negara yang terkena embargo senjata seperti China, Rusia, dan Makau hampir sepenuhnya dilarang mengimpor prosesor AI.
Pemerintahan Trump saat ini sedang meninjau ulang regulasi tersebut dengan tujuan memperketat dan meningkatkan efektivitasnya.
Salah satu usulan perubahan adalah mengurangi jumlah chip AI yang dapat diekspor tanpa izin pemerintah, dari batas sebelumnya sebanyak 1.700 unit Nvidia H100 atau yang setara. Beberapa pejabat mengusulkan ambang batas yang lebih rendah serta meningkatkan pengawasan terhadap ekspor chip AI.
Namun, rencana ini mendapat penolakan dari industri teknologi. CEO Nvidia, Jensen Huang, menyatakan harapannya bahwa pemerintahan Trump akan mengambil pendekatan yang lebih fleksibel.
Banyak perusahaan khawatir bahwa pembatasan lebih ketat dapat merugikan bisnis mereka serta mempercepat pengembangan teknologi semikonduktor dalam negeri oleh China.
Selain memperketat ekspor chip AI, AS juga tengah menekan Jepang dan Belanda agar melarang perusahaan teknologi mereka, seperti Tokyo Electron dan ASML, untuk memberikan layanan pemeliharaan peralatan manufaktur semikonduktor di China.
Jika permintaan ini disetujui, industri chip China berpotensi mengalami gangguan besar, mengingat peralatan tersebut memerlukan pemeliharaan rutin agar tetap berfungsi optimal.
Di sisi lain, kebijakan ini juga berisiko merugikan ASML dan Tokyo Electron, yang selama ini memperoleh pendapatan puluhan juta dolar dari layanan mereka di China.
Selain itu, AS juga mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap beberapa perusahaan semikonduktor China. Salah satu targetnya adalah ChangXin Memory Technologies (CXMT), yang sebelumnya lolos dari daftar hitam karena adanya keberatan dari Jepang.
Namun, kini pemerintahan Trump kembali mengevaluasi opsi untuk memasukkan CXMT ke dalam Entity List milik Departemen Perdagangan AS, yang akan sepenuhnya melarangnya memperoleh peralatan pembuat chip dari AS.
Jika pembatasan ini diterapkan, industri semikonduktor global bisa mengalami ketidakseimbangan pasokan, terutama untuk chip AI yang semakin penting bagi berbagai sektor, termasuk kecerdasan buatan dan data center.
Di sisi lain, langkah AS ini dapat mendorong China untuk mempercepat upaya swasembada dalam produksi chip, seperti yang telah dilakukan sebelumnya dengan pendirian pabrik semikonduktor domestik.
Keputusan akhir mengenai aturan ekspor chip AI ini masih dalam tahap pembahasan. Namun, yang pasti, kebijakan ini akan memiliki dampak besar, tidak hanya bagi China tetapi juga bagi sekutu AS dan industri teknologi secara keseluruhan.
(wbs)
Komentar
Posting Komentar