Bahaya, UMKM di Asia Tenggara Terancam Gulung Tikar Jika Tak Lakukan Ini - Bisnis Liputan6

Super Media Informasi
By -
6 minute read
0

 

Bahaya, UMKM di Asia Tenggara Terancam Gulung Tikar Jika Tak Lakukan Ini - Bisnis Liputan6

Liputan6.com, Jakarta “Entah Anda tumbuh dan mengadopsi, atau Anda mati.” Pernyataan berbentuk peringatan tajam itu datang dari Jochen Wirtz, profesor pemasaran di Sekolah Bisnis Universitas Nasional Singapura.

Ia mengatakannya bukan tanpa alasan. Sebab saat kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) dan AI generatif (genAI)  berkembang pesat di negara-negara seperti Amerika Serikat dan China, bisnis kecil di Asia Tenggara kini justru berada di persimpangan jalan antara mengikuti arus teknologi atau tergilas kompetisi.

Menurut proyeksi Boston Consulting Group dalam laporan bertajuk "Unlocking Southeast Asia’s AI Potential", AI dan genAI diperkirakan akan menyumbang sekitar USD 120 miliar atau sekitar Rp 1,94 kuadriliun (estimasi kurs Rp 16.300 per USD) untuk produk domestik bruto (PDB) Asia Tenggara pada tahun 2027. Laporan tersebut menyoroti potensi AI dalam mengubah cara kerja bisnis dan menciptakan sumber pendapatan baru.

Sementara itu, laporan e-Conomy SEA 2024 dari Google menunjukkan bahwa Singapura, Filipina, dan Malaysia masuk dalam 10 besar negara dengan pencarian terkait AI tertinggi di dunia yang menunjukkan besarnya minat dan rasa ingin tahu masyarakat kawasan terhadap AI di negara tersebut.

Usia muda menjadi salah satu keunggulan kompetitif di Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Bisnis Kecil CPA Australia 2024–2025, Vietnam, Malaysia, dan Filipina tercatat sebagai negara dengan proporsi tertinggi pemilik atau pemimpin bisnis berusia yang berusia di bawah 40 tahun di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini menunjukkan semangat kewirausahaan generasi muda yang siap beradaptasi dengan perkembangan teknologi, termasuk dengan kecerdasan buatan.

Prospek Masa Depan

Soumik Parida, Associate Program Manager di Program Komunikasi Profesional, Sekolah Komunikasi dan Desain Universitas RMIT Vietnam mengatakan negara-negara seperti Vietnam memiliki prospek masa depan yang dinilai sangat menjanjikan karena populasinya yang sangat muda dan melek internet. Ia juga menambahkan, generasi muda di negara tersebut mulai memiliki suara di tingkat global dan cepat dalam mengadopsi teknologi baru.

Dari efisiensi operasional hingga perluasan pasar, berbagai bisnis di Asia Tenggara mulai menjajal kecerdasan buatan untuk tetap selangkah di depan. Namun, perjalanan ini tak lepas dari hambatan mulai dari keterbatasan biaya hingga keterampilan teknis. Berikut liputan6.com ulas cara beberapa bisnis di Asia Tenggara tetap unggul dalam persaingan serta peluang dan hambatan yang mereka hadapi.

Berdasarkan laporan bersama antara Lazada dan Kantar yang menelusuri tren adopsi AI di enam negara ekonomi terbesar kawasan yang dikenal sebagai ASEAN-6 yakni Singapura, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Filipina, dan Thailand, layanan pelanggan menjadi penerapan AI paling umum dalam sektor e-commerce Asia Tenggara kemudian disusul oleh penggunaan untuk keperluan pemasaran dan periklanan.

Tren serupa juga terlihat dalam survei McKinsey yang dirilis pada Maret lalu. Survei tersebut menunjukkan bahwa banyak perusahaan, terutama di sektor teknologi, telah mengadopsi AI generatif untuk mendukung aktivitas pemasaran dan penjualan. Sebagian besar penggunanya memanfaatkan teknologi ini untuk menghasilkan konten teks, dengan 63% responden menyatakan telah melakukannya.

Keberagaman Hahasa di Asia Tenggara

Keberagaman bahasa di Asia Tenggara justru menjadi peluang tersendiri bagi pemanfaatan genAI. Teknologi ini tidak hanya mampu membuat pesan pemasaran yang dipersonalisasi, tetapi juga dapat menerjemahkan materi promosi ke dalam berbagai bahasa. Salah satu contohnya adalah Lita Global, platform media sosial yang berbasis di Indonesia yang menyasar komunitas gamer. Sejak mengadopsi model OpenAI pada paruh kedua tahun lalu, perusahaan ini sangat diuntungkan karena berhasil menyelenggarakan hampir dua kali lipat lebih banyak acara game daring setiap bulannya. Menurut keterangan perusahaan  hal tersebut berdampak langsung pada performa bisnis, dengan setiap acara disebut mampu mendorong kenaikan pendapatan mingguan hingga rata-rata 20%,.

Berkat genAI, karyawan dapat dengan cepat menerjemahkan pengumuman acara dari bahasa Inggris ke berbagai bahasa di Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Thailand, sehingga jangkauan pengguna pun semakin luas. Menurut Lita Global, efisiensi ini memungkinkan tim mengalihkan waktu dari tugas menulis menerjemahkan, dan memformat teks promosi ke aktivitas yang lebih produktif seperti menyelenggarakan lebih banyak acara yang berdampak langsung pada peningkatan pendapatan.

Lita Global juga memanfaatkan genAI dalam fitur obrolan untuk merekomendasikan respons otomatis kepada pengguna. Di platform ini, pengguna dapat menyewa gamer profesional untuk bermain bersama secara daring. Biasanya, gamer bayaran harus berkomunikasi terlebih dahulu sebelum sesi dimulai, tetapi saat permintaan tinggi, hal ini bisa menjadi kendala. Dengan bantuan respons yang direkomendasikan AI, para gamer mencatat peningkatan pesanan sebesar 10 hingga 20 persen, ungkap CEO Lita Global, Yihao Zhang.

“Jadi kami menggunakan AI untuk benar-benar membantu mereka meningkatkan efisiensi dan membantu mereka agar lebih mudah diakses oleh pengguna,” kata Zhang.

Siaran Langsung Berbasis AI

Salah satu cara lain yang mulai dimanfaatkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Asia Tenggara dalam strategi pemasaran adalah melalui siaran langsung berbasis AI. Laporan SEA e-Conomy dari Google mencatat bahwa tren belanja langsung atau live shopping semakin populer di kawasan ini. Dalam format ini, pembawa acara biasanya mendemonstrasikan produk secara real-time, termasuk mencoba pakaian hingga menjawab pertanyaan langsung dari pembeli yang ada di kolom komentar.

Meski umumnya siaran langsung dilakukan oleh host manusia di studio, banyak pelaku UMKM terkendala biaya dan keterbatasan teknis untuk menyelenggarakannya secara rutin. Menurut Jensen Wu, CEO TopviewAI, siaran langsung berbasis AI dapat menjadi alternatif yang menjanjikan, membuka peluang baru bagi para penjual untuk menjangkau konsumen tanpa beban operasional yang besar.

Di situs resminya, TopviewAI menyebutkan bahwa layanan siaran langsung berbasis AI yang mereka tawarkan dikenakan biaya sekitar USD 1 per menit atau sekitar Rp 16.000. Alih-alih mengeluarkan anggaran untuk sewa studio, produk sampel, dan tenaga kerja pembawa acara, dengan mengggunakan AI perusahaan cukup menugaskan satu orang untuk memantau jalannya siaran. Menurut CEO Jensen Wu, model ini mampu menekan biaya operasional sekaligus mendorong penjualan, dengan laba atas investasi yang dinilai “cukup baik.”

Meski menawarkan berbagai kemudahan, penerapan AI tidaklah murah. Inilah sebabnya banyak bisnis kecil di Asia Tenggara masih mengadopsinya dalam skala terbatas. Untuk saat ini, penggunaan AI umumnya terbatas pada tugas-tugas sederhana seperti chatbot karena harga layanan tersebut masih terjangkau dan mampu membantu mengurangi beban tenaga kerja. Menurut Soumik Parida dari Universitas RMIT Vietnam, kehadiran berbagai alat pihak ketiga di pasaran juga memberi keleluasaan bagi pelaku usaha untuk memilih solusi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Manfaatkan Chatbot

Di Vietnam, sejumlah usaha kecil di sektor fesyen, makanan, dan minuman telah mulai memanfaatkan chatbot untuk menangani pertanyaan dan pesanan pelanggan, ujar Parida. Namun ia menekankan, “Segala bentuk penerapan di luar fungsi dasar itu biasanya memerlukan biaya yang jauh lebih besar.”

Perusahaan besar mungkin memiliki sumber daya untuk menyewa pengembang perangkat lunak guna membangun sistem AI yang disesuaikan, tetapi  kemewahan ini sulit dijangkau oleh pelaku usaha kecil. Bahkan bagi perusahaan yang mampu mengintegrasikan AI secara mandiri, biayanya tetap tidak sedikit. Lita Global, misalnya, mengalokasikan sekitar USD 2.000 per atau sekitar Rp 32 Juta perbulan (estimasi kurs Rp 16.300 per USD) untuk penggunaan AI yang mencakup pembelian token antarmuka pemrograman aplikasi (API) dari OpenAI, yang memungkinkan mereka membangun aplikasi berbasis AI tanpa harus membuat model dari nol.

Namun, seiring perkembangan teknologi, biaya penggunaan AI diperkirakan akan semakin terjangkau. Lembaga riset Gartner memperkirakan bahwa pada tahun 2027, harga rata-rata API untuk AI generatif akan turun hingga kurang dari 1% dibandingkan harga saat ini. Tren ini membuka peluang lebih besar bagi bisnis kecil untuk mengadopsi AI secara lebih luas dalam

Di negara berkembang seperti kawasan Asia Tenggara, biaya tenaga kerja yang relatif rendah sering kali membuat perusahaan kurang terdorong untuk mengadopsi teknologi demi efisiensi. Namun, menurut Jochen Wirtz dari NUS Business School, penerapan teknologi termasuk AI tetap dapat memberikan hasil yang jauh lebih optimal bagi praktik bisnis yang sudah ada.

Wirtz memberi contoh kasus tentang layanan e-hailing yang kini banyak digunakan wisatawan untuk menghindari risiko penipuan oleh sopir taksi. Berkat sistem estimasi tarif yang transparan. AI, kata Wirtz, adalah salah satu bentuk teknologi yang bisa membawa manfaat serupa.

Meski demikian, semangat untuk mengadopsi AI tetap tinggi, terutama di negara seperti Vietnam, yang memiliki populasi wirausahawan muda dan melek digital. “Anak-anak muda saat ini sangat lapar,” ujar Soumik Parida dari RMIT Vietnam menandakan tingginya antusiasme generasi baru dalam memanfaatkan teknologi untuk mendorong pertumbuhan bisnis.

Reporter: Linda Maulina Khairunnisa

Loading

Posting Komentar

0 Komentar

Posting Komentar (0)
Today | 3, August 2025