Industri Voice Over Terancam AI, Indonesia Harus Segera Punya Regulasi - TribunNews
Table of Content
Kecerdasan Buatan,
Industri Voice Over Terancam AI, Indonesia Harus Segera Punya Regulasi - Tribunnews


TRIBUNNEWS.COM - Kecanggihan teknologi artificial intelligence (AI) yang terus berkembang membuat hidup makin praktis. Namun, bagi industri voice over, kemajuan teknologi ini juga menjadi ‘pisau bermata dua’ karena tidak hanya menghadirkan peluang, tetapi juga ancaman yang serius.
Saat ini, AI bisa meniru suara manusia dengan sangat realistis. Tapi sayangnya, kecanggihan ini justru bisa berdampak negatif karena suara tersebut bisa digunakan untuk berbagai hal tanpa izin, bahkan untuk tujuan yang merugikan. Salah satunya adalah deepfake audio, yaitu menggunakan suara seseorang yang ditiru oleh AI untuk konten palsu, mulai dari iklan fiktif hingga penipuan berbasis suara.
Hal ini jelas menjadi risiko bagi voice over talent, dubber, bahkan content creator yang sering menggunakan suara sebagai identitas digitalnya. Tanpa regulasi yang jelas, suara bisa direkam dari konten di media sosial, diproses oleh AI, dan digunakan ulang tanpa izin.
Melansir dari Tokyo Weekender, para seiyuu (sebutan untuk pengisi suara di Jepang) sudah bersuara dan meminta regulasi ketat untuk melindungi hak mereka. Mereka khawatir karya mereka akan dimanfaatkan tanpa kontrol dan profesi voice actor pelan-pelan bisa tergeser.
Bimo Kusumo atau Bimoky, salah satu voice over talent Indonesia juga mengungkapkan keresahannya akan pentingnya regulasi tentang perlindungan suara sebagai bagian dari identitas digital.
“AI itu powerful kalau di tangan yang benar, tapi kalau jatuh ke tangan yang salah bisa sangat harmful, bisa bikin reputasi rusak, bisa jadi alat penipuan dan yang paling parah belum ada atau tidak ada sistem perlindungan yang jelas buat kita sampai detik ini,” ungkapnya melalui unggahan video di akun @bimoky pada Selasa (27/5/2025).
Bimo juga sudah mengalami kejadian di mana suaranya diambil dan digunakan untuk kepentingan ilegal tanpa izin, yaitu mempromosikan judi online. Hal ini menjadi bukti bahwa penyalahgunaan AI bukan hanya mengancam privasi, tapi juga profesi dan merugikan masa depan industri kreatif secara keseluruhan.
Baca juga: Bimoky Bekali Anak Muda Aceh Keterampilan Kreatif dan Profesional, Lewat One Day Class Voice Over
Urgensi regulasi perlindungan suara di Indonesia
Di beberapa negara, suara telah diakui sebagai bagian dari identitas yang perlu dilindungi secara hukum. Contohnya di Amerika Serikat, negara bagian Tennessee mengesahkan "ELVIS Act" yang melarang penggunaan suara seseorang oleh AI tanpa izin. Undang-undang ini memberikan perlindungan hukum yang kuat bagi artis dan public figure terhadap eksploitasi suara mereka.
Jepang juga menunjukkan sikap tegas. Pemerintah Jepang mulai mempertimbangkan untuk meninjau ulang undang-undang hak cipta agar dapat mengantisipasi perkembangan teknologi AI yang pesat dan dampaknya terhadap dunia kreatif.
Sayangnya, di Indonesia, perlindungan terhadap suara masih terbatas. UU Hak Cipta bisa digunakan untuk melindungi karya audio tertentu, tapi tidak secara eksplisit menyebut suara sebagai objek perlindungan personal. Sementara, UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) belum secara eksplisit menyebutkan suara sebagai kategori data biometrik yang perlu perlindungan khusus.
Untuk itu, urgensi regulasi terkait penggunaan AI termasuk perlindungan suara di Indonesia perlu menjadi perhatian dan kesadaran bersama baik dari pelaku industri, masyarakat maupun pemerintah sebagai pemangku kebijakan.
Dengan makin sadar terhadap isu ini dan mendorong hadirnya regulasi yang jelas, pelaku industri kreatif, khususnya industri voice over tetap punya tempat dan perlindungan hukum di era AI.
Baca juga: 10 Negara Terdepan dalam Teknologi AI: Amerika Serikat Tidak Terkejar, Indonesia?