Friday
8Aug2025
Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Home Berita

    Toko Online di Indonesia Bakal Kena Pajak Otomatis dari Marketplace - Kompas

    8 min read

     Internet 

    Toko Online di Indonesia Bakal Kena Pajak Otomatis dari Marketplace

    Toko Online di Indonesia Bakal Kena Pajak Otomatis dari Marketplace - Kompas | Opsitek-1
    Toko Online di Indonesia Bakal Kena Pajak Otomatis dari Marketplace - Kompas | Opsitek-2

    KOMPAS.com - Pemerintah Indonesia dikabarkan tengah menyiapkan aturan baru yang mewajibkan platform e-commerce seperti Tokopedia, Shopee, Shop Tokopedia, Lazada, dan lainnya untuk memotong langsung pajak penghasilan (PPh) dari penjual (seller) yang bertransaksi di platform mereka.

    Langkah ini disebut sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan level persaingan yang setara antara pelaku usaha online dan toko fisik.

    Hal ini dilaporkan Reuters dengan mengutip dokumen internal dan dua sumber industri yang dekat dengan masalah ini.

    Menurut sumber yang identitasnya dirahasiakan, aturan ini akan mewajibkan platform e-commerce untuk memotong pajak penghasilan final sebesar 0,5 persen dari omzet penjual. Kemudian, platform juga mesti langsung menyetorkannya ke negara.

    AS Klaim Trump Akhiri Ancaman Langsung Nuklir Iran dan Tepis Uranium Dipindahkan

    Baca juga: Kasus Beli HP Vivo X200 Pro di Marketplace Dapat Unit Repack, Vivo Indonesia Buka Suara

    Pemotongan ini akan berlaku untuk penjual yang memiliki omzet tahunan antara Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar, yang secara regulasi masuk dalam kategori usaha kecil dan menengah (UKM).

    Saat ini, penjual dengan omzet di rentang tersebut memang sudah diwajibkan membayar pajak penghasilan final sebesar 0,5 persen berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018.

    Namun, sistem yang berjalan selama ini masih mengandalkan pelaporan dan pembayaran mandiri oleh pelaku usaha, bukan melalui pemotongan otomatis oleh platform.

    Sistem pelaporan pajak yang bersifat sukarela dan bergantung pada kesadaran masing-masing pelaku usaha ini dinilai memiliki potensi lalai pajak yang sangat besar. Entah karena keterbatasan pengetahuan, akses, maupun kesadaran administrasi.

    Dengan aturan baru ini, pemerintah kelihatannya ingin memastikan kepatuhan pajak lebih tinggi dari pelaku online shop dengan mengalihkan beban administrasi pemotongan kepada platform tempat penjual beroperasi, seperti Shopee, Tokopedia, Shop Tokopedia, Lazada, Blibli, dan lainnya.

    Apabila aturan ini resmi berlaku, maka penjual akan menanggung biaya pajak yang harus disertorkan ke platform. Dengan demikian, bukan tidak mungkin harga barang di online shop akan ikut naik.

    Pada 2018, pemerintah sempat mencoba menerapkan skema serupa yang mewajibkan marketplace menyerahkan data penjual dan membantu proses pemungutan pajak.

    Namun, regulasi tersebut ditarik kembali tiga bulan kemudian setelah mendapatkan penolakan dari industri. Ketika itu, lebijakan tersebut dikhawatirkan akan mempersulit pelaku usaha kecil.

    Kini, setelah industri e-commerce semakin matang dan transaksinya semakin masif, pemerintah menilai sudah saatnya sistem ini diberlakukan kembali dengan penyesuaian.

    Baca juga: TikTok Tutup Creator Marketplace 1 April, Ini Gantinya

    Platform e-commerce menolak, takut ditinggal penjual

    Ilustrasi TikTok Shop.

    Lihat Foto

    Dari laporan

     Reuters 

    , beberapa platform

     marketplace 

    disebut menolak atau menyatakan keberatan terhadap rencana ini. Tidak dirinci

     marketplace 

    mana saja yang menolak.

    Sumber hanya melaporkan bahwa beberapa pelaku industri khawatir kebijakan tersebut akan menambah beban administrasi, karena platform harus mengelola pemotongan, pelaporan, dan penyetoran pajak dari jutaan penjual.

    Tak hanya itu, kebijakan ini juga dikhawatirkan akan memperbesar risiko penjual kabur ke jalur informal.

    Misalnya bahkan pindah ke media sosial, yang ujung-ujung bertransaksi dengan metode pembayaran transfer manual. Artinya, sama saja tidak ada pemungutan pajak otomatis.

    Salah satu sumber menambahkan bahwa kebijakan ini konon mengatur denda untuk pelaporan yang terlambat oleh platform e-commerce. Hal ini pun membuat platform e-commerce khawatir mengingat sempat ada gangguan sistem perpajakan di Indonesia.

    Ini kemungkinan besar mengacu pada Coretax Administration System (CTAS) atau sering disebut Coretax. Sistem administrasi perpajakan baru yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) itu menggantikan sistem lama (SIDJP).

    Baca juga: Sempat Jadi Marketplace Terbesar Ketiga di Indonesia, Kini Bukalapak Tutup Lapak Produk Fisik

    Coretax mulai digunakan secara bertahap sejak awal 2024. Tujuannya untuk menyatukan seluruh proses perpajakan, dari pendaftaran, pelaporan, hingga pembayaran pajak, dalam satu platform digital yang lebih modern dan terintegrasi.

    Namun, dalam masa transisinya, Coretax menghadapi sejumlah gangguan teknis, termasuk lambatnya proses input dan akses data, error saat pelaporan SPT, hingga sistem e-faktur yang sempat tidak stabil.

    Platform e-commerce rupanya khawatir, jika sistem DJP belum sepenuhnya stabil, maka beban pelaporan dan pemotongan pajak penjual bisa menyulitkan platform, apalagi jika benar ada sanksi denda .

    Nilai transaksi e-commerce yang "seksi"

    Ilustrasi pemanfaatan digitalisasi, khsuusnya, platform e-commerce, oleh pelaku usaha mikro kecil dan menengah.

    Lihat Foto

    Langkah ini diyakini datang di tengah pelemahan pendapatan negara. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa penerimaan negara periode Januari–Mei 2025 anjlok 11,4 persen dibanding tahun lalu, menjadi hanya Rp 995,3 triliun.

    Penurunan ini dilaporkan dipicu oleh harga komoditas yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang melambat, serta gangguan teknis pada sistem informasi perpajakan.

    Di sisi lain, potensi penerimaan dari sektor e-commerce sangat besar. Laporan dari Google, Temasek, dan Bain & Company memperkirakan nilai transaksi bruto (GMV) e-commerce Indonesia diestimasikan tembus 65 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.026,1 triliun pada 2024.

    Baca juga: Bisnis E-commerce Indonesia 2024 Tembus Rp 1.026 Triliun, Didorong Tren Live Shopping

    Ini mencerminkan kenaikan sekitar 11 persen dari nilai GMV e-commerce tahun 2023 yang sebesar 59 miliar dollar AS. Pertumbuhan sektor e-commerce di Indonesia ini didorong oleh fitur-fitur baru, seperti video commerce, termasuk live shopping.

    Yang menarik, nilai transaksi e-commerce ini diprediksi bakal melonjak menjadi 150 miliar dollar AS atau skitar Rp 2.442,9 triliun pada 2030.

    Dengan angka yang sebesar itu, pemerintah tampaknya ingin memastikan bahwa pelaku usaha digital ikut berkontribusi secara adil dalam sistem perpajakan, sama seperti pelaku usaha offline.

    Menurut dua sumber industri yang mengetahui rencana tersebut, ketentuan baru ini bisa diumumkan pemerintah paling cepat bulan depan. Namun, sejauh ini, pemerintah atau Kementerian Keuangan belum memberikan tanggapan resmi terhadap rencana tersebut.

    Sementara itu, Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) menyatakan belum dapat mengonfirmasi detail kebijakan, tapi mengakui bahwa jika diterapkan, kebijakan ini akan berdampak pada jutaan pelaku online shop di seluruh Indonesia, sebagaimana dihimpun KompasTekno dari Reuters, Rabu (25/6/2025).

    Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
    Komentar
    Additional JS