Tanpa Pemahaman Logika, Belajar AI dan Coding Akan Sia-sia - Tirto
Kecerdasan Buatan
Tanpa Pemahaman Logika, Belajar AI dan Coding Akan Sia-sia

tirto.id - Mulai tahun ajaran 2025/2026 ini, coding dan akal imitasi (artificial intelligence, AI) bakal menjadi mata pelajaran pilihan di level SD - SMA. Penerapan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 13 Tahun 2025.
Peraturan itu merupakan revisi dari Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Menengah. Harapannya beleid ini dapat menjawab kebutuhan akan kompetensi digital di era digital dan untuk mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan global.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, bahkan sudah mencanangkan rencana ini sejak tengah tahun 2025.
“Mulai semester Ganjil tahun 2025/2026, Kemendikdasmen akan mengajarakan koding dan kecerdasan artificial sebagai mata pelajaran pilihan yang diajarkan mulai kelas 5 SD sampai tingkat SMP dan SLTA," kata Mu'ti dalam sambutannya di acara Tular Nalar Summit 2025 di MMTC Yogyakarta, Kamis (26/6/2025).
Namun, kebijakan ini tak lepas dari kritik. Dari mulai perencanaan hingga implementasi, semua disoroti. Pengamat pendidikan mengungkap implementasikan kurikulum berbasis AI yang membutuhkan koneksi internet stabil dan memadai akan semakin memperlebar jurang ketidaksetaraan pendidikan.
Adapula risiko mendapat hasil praktis yang mengesampingkan proses berpikir. Sebuah fenomena yang sudah terjadi di pedesaan Kolombia.
Lonjakan “kecemerlangan” buntut masifnya penggunaan AI malah merusak sistem pendidikan. Lebih banyak siswa justru tak lulus ujian. Sementara beberapa yang lulus, tak menguasai cara membaca dan menulis.
Di negara Amerika Latin itu, produk AI dari Meta membutakan mata para pelajar. Para siswa SMA di José Gregorio Salas, daerah rural di Kolombia, meminta bot AI yang diintegrasikan ke beberapa media sosial seperti WhatsApp, Facebook, dan Instagram, untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
“Di sini Facebook adalah rajanya,” ujar Luisa Cárdenas, seorang guru ilmu sosial di Quimbaya, sebuah wilayah penghasil kopi di Kolombia, mengutip laporan Rest of World, Rabu (30/7/2025). Murid-muridnya disebut, “hanya menyalin apa yang muncul dalam ruang chat, tetapi mereka tidak mampu menganalisis apa yang mereka tiru.”
Kondisi seperti itu tentu tak ingin dijumpai di Indonesia. Meski, perlu digarisbawahi, pembelajaran terkait AI tidak serta merta menggunakan AI.
Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri menyoroti hal ini. Ia meduga pembelajaran soal AI ini berangkat dari fenomena banyaknya anak didik yang sudah memanfaatkan AI di kelas. Celakanya, sebelum mereka punya pemahaman yang cukup terkait akal imitasi.
“Penggunaan AI dan dalam pembelajaran itu cenderung memang tidak disarankan. Bahkan penggunaan AI itu kan bukan hanya soal pembelajaran tapi juga tata kelola, pendidikan, tata kelola sekolah, tata kelola assessment yang dilakukan guru, itu kan sekarang sudah menggunakan AI. Jadi penggunaan AI dengan pembelajaran AI itu dua hal yang berbeda,” kata Iman kepada Tirto, Jumat (1/8/2025).
Oleh karenanya, penerapan kurikulum coding dan AI bakal penuh tantangan. Apalagi, menurut Iman hingga kini panduan pemerintah terkait batasan penggunaan AI dalam pembelajaran anak PAUD - SMA masih nihil. Jika guru maupun siswa di kelas ramai-ramai pakai AI, maka proses berpikir akan direnggut.
“Sementara kami sudah melihat di perguruan tinggi sudah ada panduannya, bahkan panduan etiknya. Sementara, di pendidikan dasar menengah ini tidak ada dan ini menurut saya yang berbahaya," tambahnya.
"Ada hal-hal yang semestinya oleh pemerintah dibatasi sehingga kemudian kalau ini tidak dilakukan AI ini akan sangat liar digunakan oleh dalam pembelajaran,” sambung Iman dari P2G.
Ajarkan Pemahaman Dasar
Tidak mengejutkan jika penggunaan AI yang berlebihan membuat anak-anak tidak lolos ujian. Sebab, sejatinya mereka tidak berpikir dan pikirannya tidak diasah.
Berbanding terbalik, AI semakin pintar dan canggih dengan mengumpulkan informasi dari penggunanya. Saat hal ini terjadi, kemampuan berpikir manusia justru akan semakin mundur.
“Jadi AI-nya semakin pintar, murid-murid kita makin rendah pemahaman dan kemampuan analytic thinking-nya –yang mana itu adalah sebuah kompetensi yang dibutuhkan tertinggi, core kompetensi berdasar World Economic Forum," sebut Iman, Kepala Advokasi P2G.
"Bagaimana mungkin kita akan menghasilkan anak-anak yang meningkatkan kemampuan analisis kalau mereka tidak dilatih berpikirnya, karena terlalu sering menggunakan AI,” tambah dia.
Iman mengaku pihaknya tidak mempersoalkan mata pelajaran AI dan coding, asalkan materi yang diberikan seputar pemahaman dasar. Dalam prinsip-prinsip dasar coding dan AI, ada hal-hal universal seperti computational thinking yang berguna dalam kehidupan sehari-hari dan bisa diajarkan tanpa perangkat digital.
Pemahaman komputasional merupakan cara berpikir untuk menyelesaikan masalah, yang memanfaatkan ide dan konsep ilmu komputer.
“Jadi menurut kami, yang utama itu sebetulnya. Di dalam pembelajaran AI kami harap ini hanya bersifat permukaan saja. Kalaupun mau mata pelajaran ini menjadi bidang yang khusus kami kira itu ditempatkan di SMK. Karena di level SMA atau di level SD-SMP anak-anak kita ini memang masih membutuhkan hal-hal yang sifatnya mendasar,” lanjut Iman.
Akan menjadi paradoks ketika pelajar menggunakan sesuatu yang basis dasarnya mereka tak pahami. Bagaimana mungkin siswa dipaksa untuk belajar coding dan AI kalau nilai matematika dan literasinya rendah? Sementara dua ilmu itu basis dasarnya adalah matematika dan teknik.
Itu kenapa, Iman bilang, kita jangan melupakan hal yang mendasar.
“Apabila membaca naskah akademik coding dan AI –juga modul-modul yang diajarkan kepada guru-guru, kami kira sebagai pemahaman dasar itu hal yang sangat baik. Namun sekali lagi, menurut kami ini tidak bisa dilaksanakan secara terburu-buru. Yang harus difokuskan itu adalah agar gurunya paham dulu maksud coding dan AI di tingkat dasar SD, pembelajaran coding dan AI di tingkat SMP, dan coding dan AI di tingkat SMA,” kata Iman.
Merujuk pada naskah akademik pembelajaran coding dan AI yang dirilis Kemendikdasmen, dua subjek pejarana itu akan diterapkan sebagai mata pelajaran pilihan pada jenjang SD (kelas 5 dan 6), SMP (kelas 7, 8, dan 9), serta SMA/SMK (kelas 10), dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran per minggu.
Untuk jenjang SMA kelas 11 dan 12, alokasi waktu dapat ditingkatkan hingga 5 jam pelajaran, sedangkan untuk SMK kelas 11 dan 12 hingga 4 jam pelajaran, menyesuaikan dengan struktur kurikulum yang berlaku.

Penerapan ini disebut berangkat dari beberapa negara yang sudah mengaplikasikan kebijakan serupa.
Singapura misalnya, pada 2020 Singapura memperkenalkan pembelajaran coding dan AI. Keduanya diintegrasikan dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah dan menjadi bagian dari mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK), projek antarmata pelajaran, atau ekstrakurikuler (misalnya Program “Code for Fun”).
Sementara di India, pada tahun yang sama, National Education Policy/NEP merekomendasikan pengenalan coding dan AI sebagai bagian dari kurikulum nasional. Sejak kelas 6 SD, pembelajaran coding mulai diperkenalkan, sedangkan AI baru di sekolah menengah.
Pemahaman Logika & Berpikir Kritis Paling Krusial
Pengamat Pendidikan, Totok Amin Soefijanto, mendorong sebelum masuk ke pelajaran coding dan AI, siswa harus dilatih untuk mengembangkan logika. Setelah terbiasa melihat masalah secara empirik dengan fakta dan sains, mereka kemudian bisa dilatih untuk berpikir kritis.
“Berpikir kritis ini latihannya adalah (saat) menerima informasi. Coba dicari secara kritis apa yang benar atau salah, apa-apa yang kurang. Dua dasar itu dulu deh. Jadi, jangan mengajarkan coding dan AI itu hanya semata-mata sebagai mata pelajaran,” ujar Totok di ujung telepon, Jumat (1/8/2025).
Hal itu disebut berangkat dari refleksi soal mata pelajaran Pancasila yang diajarkan hanya sebagai mata pelajaran, alih-alih mencoba memahami esensi Pancasila itu sendiri. Dengan begitu, masyarakat jadi hanya mengingat sila-silanya saja.
“Sama juga dengan AI dan coding. AI dan coding itu hanya alat. Tapi esensinya adalah bagaimana menyelesaikan masalah dengan alat itu. Jadi, memecahkan masalahnya dulu yang harus dilatih,” lanjut Totok.
Dengan penerapan mata pelajaran AI dan coding yang terlalu terburu-terburu, kata Totok, maka mereka hanya akan berhenti sebagai mata pelajaran. Lalu ketika siswa menghadapi masalah yang berbeda, mereka justru akan bingung.
Memberlakukan mata pelajaran opsional AI dan coding di sekolah harus dibarengi dengan pembentukan fondasi yang kuat agar apa yang sedang diupayakan tak sia-sia.
tirto.id - Pendidikan
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto