SAFENet Ungkap Deret Represi Digital Saat Aksi Demonstrasi di RI - CNN Indonesia
SAFENet Ungkap Deret Represi Digital Saat Aksi Demonstrasi di RI

--
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), organisasi masyarakat sipil untuk memperjuangkan hak digital, mengungkap praktik represi digital selama aksi demonstrasi beberapa waktu terakhir. Setidaknya, ada enam aksi represi digital yang diungkap SAFENet.
Menurut SAFENet, dalam keterangan di laman resminya, aksi yang digelar sejak 25 Agustus 2025 tidak hanya diwarnai dugaan pelanggaran hak asasasi manusia pada para peserta aksi di lapangan, tapi juga berdampak pada hak-hak digital pengguna internet di Indonesia secara masif.
"Situasi di lapangan juga menunjukkan adanya praktik-praktik yang diduga melanggar prinsip kebebasan berekspresi di ruang digital oleh pemerintah dan platform media sosial," demikian keterangan SAFENet di laman resminya, Minggu (31/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam keterangannya, SAFENet merinci pelanggaran serius pada hak digital masyarakat.
Pertama, dugaan kriminalisasi terhadap aktivis mahasiswa Universitas Riau (UNRI) Khariq Anhar dan pengelola akun media sosial Aliansi Mahasiswa Penggugat (AMP). Khariq ditangkap pada 28 Agustus 2025 di Bandara Soekarno-Hatta setelah kampanye mengenai aksi protes bulan Agustus melalui Instagram AMP.
Kedua, beredarnya kontak WhatsApp sejumlah pegiat koalisi masyarakat sipil secara keliru dipresentasikan sebagai milik sejumlah anggota DPR, sehingga menimbulkan spam, pelecehan, sampai gangguan keamanan.
Tidak hanya itu, SAFENet juga mengungkap berbagai ancaman intimidasi secara masif di ruang digital mulai dari pengancaman, pengungkapan data pribadi, kekerasan berbasis gender online, dan berbagai serangan digital lainnya yang menargetkan orang-orang yang menyampaikan kritik di media sosial.
Ketiga, gangguan terhadap akses internet dan informasi ruang digital. Moderasi konten, pembatasan akses terhadap sejumlah fitur, dan pemadaman listrik yang terjadi di beberapa wilayah Jakarta dan Bandung yang jadi titik sentral aksi menyebabkan hambatan arus informasi bagi masyarakat secara umum serta memperbesar potensi ancaman fisik kepada peserta aksi.
SAFENet juga mengungkap dugaan sabotase kabel optik server dengan pembakaran oleh orang tak dikenal yang berpotensi mengganggu jaringan internet serta memengaruhi arus komunikasi dan informasi di Jakarta.
"Pola ini serupa dengan pola-pola gangguan akses internet pada sejumlah demonstrasi selama beberapa tahun belakang, di mana peserta kesulitan untuk terhubung ke internet selama aksi berlangsung," kata SAFENet.
Keempat, ditangguhkannya fitur live streaming di TikTok yang menjadi saluran alternatif untuk mendokumentasikan jalannya demonstrasi atas alasan keamanan. Menurut SAFENet, penangguhan ini tidak hanya membatasi akses informasi dan komunikasi, tapi juga berdampak pada pengusaha UMUM yang mengandalkan fitur live streaming.
Kelima, SAFENet menemukan indikasi operasi informasi yang bertujuan mengalihkan perhatian publik dari isu kekerasan polisi. Narasi yang disebarkan berupaya mengarahkan fokus massa untuk menyasar DPR, alih-alih menuntut pertanggungjawaban atas brutalitas polisi.
Pada saat yang sama, peserta aksi semakin sering dilabeli sebagai kelompok anarkis, sebagai upaya mendelegitimasi tuntutan mereka. SAFENet juga mengungkap narasi hasutan untuk melakukan tindak kekerasan kepada etnis Tionghoa yang memunculkan peristiwa 1998.
Tidak hanya itu, narasi militer yang hadir untuk mengamankan demonstrasi juga disorot. Padahal, menurut mereka, TNI tidak memiliki tugas pokok dan fungsi untuk mengamankan atau mencairkan suasana di titik-titik aksi.
Keenam, SAFENet menyoroti pernyataan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang berencana memanggil perwakilan Meta dan TikTok pada 26 Agustus untuk mendiskusikan pemberantasan konten yang dilabeli pemerintah sebagai disinformasi, fitnah, dan ujaran kebencian (DFK).
Hanya dalam beberapa hari, moderasi konten berlebihan atau overmoderation terjadi di platform milik kedua perusahaan tersebut, seperti Instagram, YouTube, dan TikTok.
Sejumlah akun juga ditangguhkan dan banyak unggahan terkait kekerasan polisi diturunkan dengan dalih 'penghasutan dan kekerasan'.
Selain itu, beberapa pengguna X juga mendapatkan notifikasi permintaan penurunan konten. Padahal, konten-konten yang disebarkan merupakan ekspresi yang sah.
Ketujuh, penyitaan, penggeledahan, dan penyedotan data secara paksa terhadap Hp para massa aksi di Bali oleh kepolisian.
Mengenal Apa Itu DeepFake, Bahaya dan Cara Identifikasinya (Foto: CNN Indonesia/ Agder Maulana) |
Desakan hingga pernyataan Komdigi di halaman berikutnya...
Berangkat dari temuan-temuan di atas, SAFENet mendesak pemerintah, terutama Polri, untuk menghentikan segala bentuk represi digital dalam menangani aksi demonstrasi.
SAFENet juga mendesak pemerintah harus memastikan perlindungan terhadap hak atas informasi publik di masa kritis. Media, termasuk media independen, harus diberi ruang penuh untuk melakukan liputan tanpa hambatan teknis.
Mereka juga mendesak perusahaan-perusahaan media sosial, utamanya Meta, ByteDance, dan Google, untuk memastikan operasi bisnisnya menghormati hak asasi manusia dan tidak tunduk pada permintaan moderasi konten maupun pembatasan fitur.
Pernyataan Komdigi
Saat aksi demonstrasi memanas pada Kamis (28/8), sejumlah pengguna X mengeluhkan bahwa platform tersebut tak bisa diakses. Netizen menduga Komdigi ada arahan dari pemerintah untuk membatasi akses platform media sosial itu.
Namun, Komdigi dengan tegah membantah tuduhan tersebut.
"Perlu diketahui tidak ada arahan dari Komdigi maupun pemerintah untuk menurunkan atau membatasi akses terhadap platform media sosial pada saat aksi di DPR tanggal 28 Agustus," ujar Alexander Sabar, Dirjen Pengawasan Digital Komdigi, dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (29/8).
Sementara itu, Menkomdigi Meutya Hafid mengklaim TikTok secara sukarela mematikan fitur siaran langsung atau live streaming memanasnya aksi unjuk rasa di berbagai daerah.
"Bahwa live TikTok itu, kami melihat pemberitahuan yang dilakukan oleh TikTok. Bahwa mereka melakukan secara sukarela, untuk penutupan fitur live," ujarnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Minggu (31/8).
Meutya mengklaim dirinya justru berharap agar penutupan fitur live tersebut tidak dilakukan berlarut-larut oleh TikTok. Pasalnya, kata dia, Presiden Prabowo Subianto tidak pernah melarang aspirasi dan aksi penyampaian pendapat oleh masyarakat.
"Mereka melakukan secara sukarela untuk penutupan fitur live, dan kami justru berharap bahwa ini berlangsung tidak lama," tuturnya.
"Jadi kalau kondisi berangsur baik, mudah-mudahan kita bisa kembali lagi fitur live TikTok dan pada saat ini negara, kami memahami bahwa ada UMKM yang terdampak yang berjualan secara live," imbuhnya.
Dalam penjelasannya, juru bicara Tiktok menyebut fitur live sengaja dimatikan seiring memanasnya aksi unjuk rasa di berbagai daerah.
Pihak TikTok beralasan penangguhan fitur ini merupakan langkah pengamanan tambahan untuk menjaga TikTok tetap menjadi ruang yang aman dan beradab.
"Sebagai bagian dari langkah ini, kami secara sukarela menangguhkan fitur TikTok LIVE selama beberapa hari ke depan di Indonesia. Kami juga terus menghapus konten yang melanggar Panduan Komunitas dan memantau situasi yang ada," ungkap pihak TikTok.