Nasib Sarjana Lulusan Ilmu Komputer, Dulu Karier Cemerlang dan Gaji Tinggi tapi Kini Sulit Dapat Kerja - VIVA
Nasib Sarjana Lulusan Ilmu Komputer, Dulu Karier Cemerlang dan Gaji Tinggi tapi Kini Sulit Dapat Kerja

Jakarta, VIVA – Dulu, ilmu komputer dianggap sebagai jalur karier yang hampir “future-proof.” Lulusan bisa memilih pekerjaan dengan gaji tinggi dan menikmati banyak tawaran menarik, seolah memiliki dunia di ujung jari mereka.
Namun, tren terbaru menunjukkan perubahan drastis dalam beberapa tahun terakhir. Kini, lulusan ilmu komputer menghadapi tantangan untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan di tengah berkembangnya teknologi dan permintaan tenaga profesional.
Hany Farid, profesor terkemuka di bidang ilmu komputer dan pakar forensik digital menyampaikan peringatan serius terkait fenomena ini. Farid menjelaskan bahwa lulusan ilmu komputer saat ini tidak lagi menikmati posisi strategis yang sama seperti empat tahun lalu.
“Untuk orang-orang seperti putra Anda, yang empat tahun lalu dijanjikan, ‘belajar ilmu komputer, ini akan menjadi karier yang hebat. Ini future-proof,’ hal itu sudah berubah,” ujarnya, seperti dikutip dari NY Post, Rabu, 1 Oktober 2025.
Farid mengamati bahwa beberapa lulusan bahkan hanya beruntung jika mendapatkan satu tawaran pekerjaan, jauh berbeda dari masa lalu ketika mahasiswa Berkeley yang menyelesaikan program ilmu komputer mendapat hingga lima tawaran magang dan bisa langsung kerja dengan gaji yang sangat tinggi.
“Mereka memiliki akses penuh ke berbagai kesempatan. Itu tidak terjadi sekarang,” tegasnya.
Farid menekankan bahwa perubahan ini bukan semata-mata akibat AI, meski teknologi ini berperan penting. “Ada sesuatu yang terjadi di industri ini. Saya pikir ini adalah pertemuan dari banyak hal. AI adalah bagian darinya. Ada penipisan peran tertentu yang terjadi, itu juga bagian dari masalah, tapi sesuatu sedang berkembang,” katanya.
Fenomena ini menjadi tanda bahwa dunia kerja teknologi kini berada dalam fase transformasi yang kompleks, di mana otomatisasi dan AI menggantikan banyak pekerjaan rutin, khususnya posisi entry-level coding dan analis.
Dampak dari perubahan ini terlihat jelas pada mahasiswa dan lulusan baru. Farid yang dulu menyarankan agar mahasiswa memiliki pendidikan luas dan mendalami satu bidang secara mendalam, kini mendorong mereka untuk menguasai banyak hal.
“Anda harus bagus di banyak hal karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa AI harus dimanfaatkan di hampir semua profesi agar tetap relevan, termasuk profesi yang selama ini dianggap aman dari otomatisasi. “Saya tidak berpikir AI akan membuat pengacara kehilangan pekerjaan, tapi saya pikir pengacara yang menggunakan AI akan mengalahkan yang tidak menggunakan AI. Dan hal ini berlaku di semua profesi,” jelasnya.
Data menunjukkan bahwa pergeseran ini nyata. Dalam enam bulan pertama tahun ini, hampir 78.000 pekerjaan teknologi di AS hilang akibat otomatisasi AI. Meski begitu, Biro Statistik Tenaga Kerja AS tetap memproyeksikan bahwa pekerjaan pengembang perangkat lunak akan tumbuh hampir 18% hingga 2033, jauh di atas rata-rata nasional.
Secara global, hingga 30% pekerjaan di AS dan sekitar 300 juta peran di seluruh dunia berpotensi diotomatisasi pada 2030. Permintaan keterampilan AI juga meningkat pesat, dengan lowongan pekerjaan yang menyebut AI lebih dari dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya.
Fenomena ini menjadi peringatan bagi mahasiswa dan profesional muda. Dunia kerja kini menuntut fleksibilitas, kemampuan multi-disiplin, dan adaptasi cepat terhadap teknologi, terutama AI.
Masa depan karier tak lagi dijamin hanya dengan memilih bidang ilmu tertentu, melainkan kemampuan untuk terus belajar, berinovasi, dan memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk tetap relevan di pasar kerja global.