Jangan Sampai Kehabisan Air gara-gara Data Center - Viva
Jangan Sampai Kehabisan Air gara-gara Data Center
Jakarta, VIVA – Ledakan pusat data (data center) di Johor, Malaysia, merupakan simbol kebangkitan ekonomi digital Asia Tenggara.
Pertumbuhannya ambisius, mendunia, dan cepat. Namun, seiring raksasa teknologi dunia membangun kerajaan mereka di seberang Causeway (jalan layang yang terhubung dengan Singapura), tanda-tanda peringatan semakin mustahil diabaikan.
Kelangkaan air, polusi sungai, dan meningkatnya kecemasan publik, semuanya menunjukkan sebuah kenyataan pahit, yakni pertumbuhan tanpa perlindungan bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran yang ditimbulkan sendiri.
Pertumbuhan pesat Johor sebagai pusat data regional yang besar jelas menimbulkan kekhawatiran di Causeway.
Apa yang terjadi di Johor bukanlah dorongan industri biasa?
Dikutip VIVA dari situs South China Morning Post, Selasa, 18 November 2025, raksasa teknologi global seperti Microsoft, Nvidia, dan ByteDance Technology sedang menggelontorkan miliaran dollar AS ke pusat data hyperscale baru di seluruh negara bagian, menjadikan Johor salah satu pusat digital dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara.
Bagi Malaysia, ini merupakan keuntungan ekonomi yang tak terduga. Namun, bagi banyak warga Johor, hal ini menjadi kekhawatiran sehari-hari. Pusat data, atau data center, yang beroperasi 24 jam sehari, merupakan fasilitas yang sangat boros air.
Mesin-mesin yang menggerakkan teknologi kecerdasan buatan (AI) global, komputasi awan (cloud computing), dan layanan media sosial menghasilkan panas yang sangat besar.
Akibatnya, pendinginannya membutuhkan volume air yang sangat besar untuk memenuhi permintaan. Johor kini memiliki 47 pusat data yang telah dibangun atau sedang dibangun.
Perkiraan pemerintah, yang dikutip oleh SCMP, menunjukkan bahwa fasilitas-fasilitas ini sudah membutuhkan sekitar 675 juta liter air setiap hari, setara dengan 270 kolam renang ukuran Olimpiade.
Sebagian dari ekspansi pesat Johor bermula dari keputusan Singapura pada 2019 untuk membekukan pembangunan pusat data baru karena kekhawatiran akan penggunaan lahan, konsumsi listrik, dan permintaan air.
Meskipun moratorium telah dicabut pada 2022, kontrol keberlanjutan yang ketat menyebabkan banyak perusahaan yang berbasis di Singapura mengalihkan rencana ekspansi mereka ke luar negeri.
ST Telemedia, misalnya, kini mengoperasikan kampus hanya 15 km dari Singapura.
Keuntungan ekonomi bagi Johor tidak diragukan lagi sangat besar. Selama lima tahun terakhir, investasi teknologi telah menciptakan lebih dari 2.300 lapangan kerja bernilai tinggi.
Kesepakatan besar meliputi kemitraan Nvidia senilai US$4,3 miliar (Rp72 triliun) dengan YTL, investasi Microsoft senilai US$2,2 miliar (Rp36,8 triliun) dalam infrastruktur digital, dan komitmen Google senilai US$2 miliar (Rp33,5 triliun) untuk membangun kawasan data center pertamanya di Malaysia.
ByteDance Technology juga memperluas jejaknya di Kulai dengan proyek senilai Rp36,8 triliun. Total kapasitas pusat data Johor telah melonjak seratus kali lipat hanya dalam lima tahun, mencapai lebih dari 1.500 megawatt — tiga kali lipat kapasitas Indonesia, menurut angka DCByte.
Namun, para pegiat lingkungan memperingatkan bahwa infrastruktur yang mendukung kemajuan ini mungkin akan runtuh di bawah tekanan.
Muhammad Shaqib bin Shahrilnizam, analis keuangan konservasi dari Johor Bahru, menyebut bahwa transparansi tetap menjadi perhatian utama.
"Kita sering mendengar tentang proyek-proyek baru, tetapi tidak membahas dampak lingkungan atau jejak airnya. Pertumbuhan yang tidak terkendali berisiko menekan penduduk dan industri kecil yang bergantung pada sumber daya yang sama," jelas dia.
Komisi Layanan Air Nasional Malaysia telah memperingatkan bahwa infrastruktur negara tersebut hanya dapat mendukung sebagian kecil dari permintaan air yang diajukan oleh pusat data baru.
Dari 808 juta liter yang diminta setiap hari di tiga negara bagian, regulator mengatakan hanya 142 juta liter yang secara realistis dapat dipasok.
Johor telah menyumbang 90 persen dari permintaan air yang dianggap tidak berkelanjutan oleh regulator.
Microsoft telah berjanji untuk menggunakan sistem pendingin hemat air dan energi terbarukan di fasilitas barunya di Johor, di samping inisiatif lingkungan seperti restorasi hutan bakau.
Namun, skeptisisme di lapangan masih ada. “Yang saya takutkan adalah apakah pemerintah daerah dan otoritas air dapat memenuhi kebutuhan pusat data dan konsumen,” ujar Abu Bilal, seorang teknisi cloud di Johor.
Pihak berwenang mengatakan pedoman baru kini mewajibkan operator untuk menggunakan air daur ulang, air hujan, atau air desalinasi, bukan air minum, untuk pendinginan. Penegakan dan transparansinya masih belum jelas.