Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Ingin Cepat Kaya? Kerja, Jangan Judi - Kumpulan Informasi Teknologi Hari ini, Setiap Hari Pukul 16.00 WIB
    Home AI Featured Gemini Kecerdasan Buatan Sergey Brin Spesial

    Turun Gunung Demi Gemini: Kisah Sergey Brin Menolak Tua dan Penyesalan Terlambat Merespons AI - SindoNews

    3 min read

     

    Turun Gunung Demi Gemini: Kisah Sergey Brin Menolak Tua dan Penyesalan Terlambat Merespons AI

    views: 


    AAlih-alih menikmati masa tua dengan tenang, Sergey Brin justru menyebut pensiun dini sebagai kesalahan fatal yang hampir membuat otaknya tumpul di tengah perang AI. Foto: Getty Images
    SAN FRANSISCO - Seharusnya, pendiri Google Sergey Brin sedang menikmati masa pensiunnya dengan secangkir kopi di sebuah kafe sunyi, jauh dari hiruk-pikuk kode pemrograman.

    Namun, pandemi Covid-19 dan kebangkitan agresif kompetitor memaksanya "turun gunung", meninggalkan kenyamanan masa purnabakti untuk menyelamatkan raksasa teknologi yang ia dirikan dari ancaman kepunahan.
    Bagi miliarder berusia 52 tahun ini, keputusan untuk pensiun pada Desember 2019 ternyata nyaris menjadi blunder terbesar dalam hidupnya.

    Dalam perayaan seratus tahun Fakultas Teknik Universitas Stanford pekan lalu, Brin membuka tabir kehidupannya pasca-mundur dari operasional harian Google.

    Rencana awalnya terdengar romantis: duduk di kafe dan belajar fisika. Namun, realitas berkata lain. Pandemi menghantam, kafe-kafe tutup, dan isolasi sosial justru membuatnya merasa tumpul.

    "Saya merasa seperti berputar-putar tanpa arah (spiraling) dan tidak lagi tajam," aku Brin.

    Kehilangan stimulasi intelektual yang selama puluhan tahun menjadi bahan bakarnya ternyata menyiksa. Begitu kantor Google mulai dibuka kembali untuk segelintir karyawan, Brin tak membuang waktu.

    Ia kembali masuk, bukan sebagai bos besar yang hanya memberi perintah, melainkan terjun langsung ke dapur pengembangan Gemini, model kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) andalan Google.

    Raksasa yang Sempat Tertidur

    Kembalinya Brin bukan sekadar obat bagi kebosanan pribadinya, melainkan respons darurat atas posisi Google di peta persaingan teknologi. Brin memberikan pengakuan jujur dan kritis mengenai trajektori AI perusahaannya.

    Meski Google adalah pihak yang menerbitkan makalah revolusioner bertajuk "Transformer" pada 2017—yang notabene menjadi fondasi bagi hampir semua model AI modern saat ini—mereka justru gagal memanfaatkannya lebih dulu.

    Brin mengakui bahwa Google "kurang berinvestasi" pada awalnya dan terlalu takut untuk merilis produk ke publik.

    "Kami terlalu takut membawanya ke masyarakat karena chatbot kadang mengatakan hal-hal bodoh," ujar Brin.

    Ketakutan akan risiko reputasi inilah yang menjadi celah bagi OpenAI. Rivalnya itu bergerak cepat, mengambil risiko, dan akhirnya memimpin pasar.

    "OpenAI berlari dengan teknologi itu, dan bagus untuk mereka," tambahnya sportif.

    Namun, dalam analisis pasar jangka panjang, Google belum tamat. Brin menegaskan bahwa Google masih memegang kartu As berupa infrastruktur.

    Investasi jangka panjang pada riset jaringan saraf (neural network), pengembangan cip AI khusus (TPU), dan infrastruktur pusat data (data center) masif adalah benteng pertahanan yang sulit ditembus lawan. "Sangat sedikit yang memiliki skala sebesar itu," tegasnya.

    Pelajaran dari Kegagalan Google Glass

    Selain membahas AI, Brin juga merefleksikan kesalahan masa lalunya sebagai peringatan bagi para inovator muda. Ia menunjuk proyek Google Glass sebagai contoh nyata dari ambisi yang tak terukur. Ia mengaku terburu-buru meluncurkan produk tersebut sebelum benar-benar siap, matang, atau terjangkau harganya.

    "Semua orang berpikir mereka adalah Steve Jobs berikutnya. Saya jelas pernah membuat kesalahan itu," akunya.

    Kini, di tengah pusaran pengembangan Gemini, Brin menemukan kembali ketajamannya. Ia memperingatkan mahasiswa dan pelaku industri untuk tidak lengah. Laju inovasi saat ini begitu cepat sehingga "melewatkan berita selama satu bulan berarti Anda sudah jauh tertinggal."

    Brin juga memberikan nasihat kontraintuitif bagi mahasiswa yang cemas akan masa depan karier mereka. Ia menyarankan agar tidak lari dari bidang teknis hanya karena AI kini bisa menulis kode pemrograman.

    "Jangan beralih ke sastra hanya karena Anda pikir AI jago coding. AI mungkin justru lebih jago dalam sastra," candanya, menyiratkan bahwa pemahaman teknis tetaplah mata uang paling berharga di era algoritma ini.
    (dan)
    Komentar
    Additional JS