Legislator AS Buat RUU Pakai Artificial Intelligence, Apakah Etis? - Beritasatu
Legislator AS Buat RUU Pakai Artificial Intelligence, Apakah Etis?

New York, Beritasatu.com - Seorang legislator di New York menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk menulis sebuah rancangan undang-undang sewa menyewa rumah. Hasilnya cukup baik tetapi apakah etis menggunakan AI untuk membuat UU yang berdampak ke jutaan manusia?
Bill 6896, yang disponsori oleh Anggota Majelis Clyde Vanel, akan mewajibkan para pemilik rumah menyediakan salinan perjanjian sewa kepada penyewa. Ini adalah langkah kecil namun diperlukan bagi para penyewa di New York City yang sering kali menjadi korban sengketa.
Masalah dengan properti sewa di New York jauh lebih kompleks dan menyebabkan krisis perumahan saat ini. Harga sewa melonjak tinggi, meskipun ribuan unit apartemen dibiarkan kosong. Seringkali, penyewa tidak pernah melihat atau berkomunikasi langsung dengan pemilik rumah karena pemilik menyembunyikan diri di balik perusahaan LLC (Limited Liability Company) dan agen terpisah. Penyewa juga harus menghadapi kemungkinan pemilik rumah mencoba memasang kamera pengenalan wajah di gedung-gedung.
Dalam RUU ini, terdapat satu paragraf yang mencantumkan informasi penting:
"Kantor Anggota Majelis Clyde Vanel secara aktif menjelajahi cara-cara baru untuk meningkatkan efisiensi pemerintah dan merancang undang-undang yang lebih baik. Undang-undang ini dan memo yang menyertainya diteliti dan ditulis oleh kecerdasan buatan, dengan akurasi dan bahasa yang ditinjau dan disempurnakan oleh manusia. Pengungkapan ini akan muncul dalam setiap undang-undang di mana kecerdasan buatan digunakan untuk melakukan penelitian dan penyusunan tanpa intervensi manusia yang signifikan."
Dilansir dari Gizmodo, Dokumen tersebut hanya berisi beberapa paragraf. Tidak ada yang menonjol dari dokumen tersebut.
Rancangan undang-undang ini adalah sebuah eksperimen yang dilakukan oleh kantor Vanel. Menurut laporan-laporan yang beredar, kantor Vanel menggunakan Auto-GPT, sebuah "agen" kecerdasan buatan. Sistem ini adalah gabungan beberapa versi ChatGPT yang bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas.
Vanel adalah ketua subkomite majelis tentang internet dan teknologi baru, dan direktur legislatifnya, Tyler Fritzhand, mengatakan kepada Fast Company bahwa mereka memberikan tugas kepada Auto-GPT untuk melakukan penelitian hukum New York, menemukan celah dalam hukum, lalu menulis baik undang-undang maupun memorandum yang membenarkan undang-undang tersebut. Yang perlu dilakukan oleh kantor tersebut hanyalah mengetikkan perintah, menentukan parameter, dan membiarkan AI mengerjakan semuanya.
Fritzhand mengatakan bahwa mereka hanya membayar beberapa dolar saat menggunakan sistem. Akhirnya, sistem tersebut menghasilkan beberapa undang-undang, salah satunya berusaha memperbaiki celah dalam undang-undang senjata api di New York. Menurut direktur legislatif tersebut, dokumen tersebut terlalu teknis.
Hal yang perlu diingat adalah, keluwesan model bahasa modern sangat terbatas. AI dapat menganalisis tren dalam data, tetapi LLM (Language Models) tidak bersifat interpretatif. Beberapa waktu lalu, dua pengacara di New York dikenakan denda ribuan dolar karena mencoba menggunakan ChatGPT untuk menulis dokumen hukum. Itu juga mengapa "pengacara" berbasis AI seperti model DoNotPay ditolak oleh pengadilan, karena model chatbot modern hanya efektif dalam menghasilkan teks yang terlihat manusiawi.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
BERITA TERKAIT

4 Terobosan Elon Musk di Bidang AI: Robotaxi, xAI, Dojo, dan Optimus

Teknologi AI Berpotensi Percepat Transaksi Kripto

Sesumbar Ganti Karyawannya dengan AI, Bos Perusahaan Ini Dibantai Netizen

Google Dituduh Curi Data Pribadi untuk Kembangkan Bard

27% Pekerjaan di Negara-negara OECD Terancam Digantikan AI
