29 Dec 23 | 09:10
Jakarta, IDN Times - Istilah hilirisasi digital yang disebut-sebut oleh Gibran Rakabuming Raka pada debat calon wakil presiden (cawapres) pada 22 Desember lalu mulai dapat kritikan sejumlah pihak. Salah satunya dari Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII).
Direktur LPPMII, Kamilov Sagala, mengatakan bahwa istilah yang dibawa oleh Gibran tersebut tidak sesuai dengan kondisi dan realita saat ini. Kamilov menguatkan pernyataannya tersebut dengan memberikan contoh akuisisi TikTok terhadap 75 persen saham Tokopedia.
Melalui akuisisi tersebut, TikTok yang notabenenya merupakan perusahaan asal China membuat modal asing mengendalikan Tokopedia, perusahaan dalam negeri.
"Ada e-commerce lokal dan asing, ada aplikasi baik buatan anak negeri dan asing. Apanya yang mau dibuat hilirisasi digital. Maaf ini timnya (Gibran) kurang smart aja. Istilah hilirisasi digital juga ambigu kalau mengutip penjelasan TKN," kata Kamilov, dikutip Jumat (29/12/2023).
1. TikTok langgar Permendag Nomor 31 Tahun 2023
Kamilov pun mengkritik istilah hilirisasi digital lantaran bertolak belakang dengan apa yang terjadi saat ini ketika TikTok menabrak peraturan pemerintah, dalam hal ini Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023 tentang Perizinan Berusaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha Dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
TikTok yang kembali membuka TikTok Shop di Indonesia dengan dalih bekerja sama lewat Tokopedia dinilai Kamilov melanggar aturan dalam beleid tersebut. Untuk diketahui, Permendag 31/2023 mengatur dengan jelas kewajiban pemisahan fungsi media sosial dan e-commerce, serta tidak diperbolehkannya media sosial melakukan transaksi.
Jika dilihat saat ini, pengguna masih bisa mengakses TikTok Shop lewat aplikasi TikTok dan melakukan transaksi langsung di sana.
"Dengan Permendag memberi keleluasaan kepada Tiktok dalam mengkangkangi regulasi, itu menunjukan fungsi mengaturnya pemerintah sudah diamputasi dan ini jelas meruntuhkan fungsi pemerintah sendiri sebagai pemilik otoritas kedaulatan berbisnis," ujar Kamilov.
Baca Juga: TikTok Shop Buka Lagi, Zulhas: Tugas E-commerce Melatih Pedagang Pasar
2. Bakal jadi preseden buruk bagi pemerintah
Kamilov menambahkan, kasus Tiktok yang menabrak Permendag 31/2023 harus mendapat perhatian serius. Jika terus dibiarkan, maka akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah dan wibawa pemerintah juga menjadi hilang di mata publik.
"Di sisi lain, apabila kasus Tiktok ini tidak hati-hati atau prudent mengaturnya, maka potensi untuk diduplikasi oleh pemain asing. Jelas mereka tidak tinggal diam karena potensi pasar yang menggiurkan sudah menunggu di depan mata mereka. Maka sempurnalah kehancuran e-commerce lokal dan UMKM yang lagi merangkak di negeri kita ini," kata Kamilov.
3. Kemenkop UKM mencium adanya indikasi pelanggaran dilakukan TikTok
Sebelumnya, Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) menyebutkan adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan Tiktok Shop setelah kembali beroperasi di Indonesia. Indikasi itu terkait masih adanya penggabungan dua fungsi di aplikasi mereka, yakni media sosial (medsos) menyatu dengan belanja daring atau e-commerce.
Deputi Bidang Usaha Kecil dan Menengah KemenkopUKM, Hanung Harimba Rachman mengatakan, praktik yang dilakukan TikTok Shop telah dilarang dalam Permendag 31/2023.
Hanung mengungkapkan, sejumlah pelanggaran Tiktok Shop sudah mulai dibahas internal dari KemenkopUKM dan Kemendag. Di antaranya frasa 'tidak adanya keterhubungan atau interkoneksi' yang memisahkan dua entitas sistem elektronik antara PMSE dengan sistem elektronik di luar PMSE'. Selain itu, indikasi pelanggaran lainnya ialah menerabas aturan terkait masih adanya transaksi di media sosial TikTok atau TikTok Shop.
"Melanggar ketentuan (TikTok Shop melakukan transaksi dan fitur e-commerce di media sosial). Harus di aplikasi yang berbeda," ujar Hanung.
Baca Juga: TikTok Shop Kembali Ditegur Pemerintah karena Belum Berubah
Komentar
Posting Komentar