Jeratan Pasal Karet UU ITE Bisa Sasar Siapa Saja, Simak Juga Perubahan Positifnya - NU Online

 

Jeratan Pasal Karet UU ITE Bisa Sasar Siapa Saja, Simak Juga Perubahan Positifnya

Sab, 13 Januari 2024 | 14:00 WIB

Jeratan Pasal Karet UU ITE Bisa Sasar Siapa Saja, Simak Juga Perubahan Positifnya

Ilustrasi hukum dan Undang-Undang. (Foto: Freepik)

Suci Amaliyah

Jakarta, NU Online

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur memutuskan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti bebas karena tidak terbukti bersalah atau mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan. 


Meskipun bebas, risiko terkena pasal karet bisa menyasar masyarakat karena revisi kedua UU ITE, khususnya Pasal 27A, memiliki ketidakjelasan yang dapat menyasar siapa saja, tidak hanya aktivis, tetapi juga orang biasa. 

Baca Juga

Belajar dari Kasus Haris-Fatia, Revisi UU ITE Tambah Potensi Kriminalisasi?


Dosen Hukum Konstitusi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Ahsanul Minan menilai frasa dalam Pasal 27A dapat disalahartikan dan sulit dibedakan antara kritik terhadap orang biasa dan pejabat publik. 


"Saya kira ini menjadi potensi masalah untuk mengkritik pejabat publik, padahal kritik merupakan sebuah hak yang dimiliki warga negara dalam negara yang demokratis," kata Minan kepada NU Online, Sabtu (13/1/2024).

ad


Minan menekankan pentingnya masyarakat dan penegak hukum memahami, larangan pencemaran nama baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat 7, tidak berlaku ketika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau dalam situasi pembelaan diri. 


"Di sini membutuhkan kecermatan dan komitmen dari para penegak hukum untuk menegakkan aturan ini," jelas doktor hukum lulusan UI ini.

Baca Juga

Sejumlah Pasal UU ITE Jilid II yang Berpotensi Batasi Kebebasan Berpendapat dan Kritik


Minan juga menyinggung pasal karet terkait wewenang pemerintah untuk melakukan pemutusan akses terhadap penyelenggara sistem elektronik. Menurutnya, aturan ini penting tetapi membutuhkan pedoman pelaksanaan yang transparan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan.


"Memang penting atau diperlukan tetapi akan membutuhkan pedoman pelaksanaan atau sop yang dibuat secara transparan untuk mencegah praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abause of power oleh oknum-oknum pemerintah," ungkapnya.

ad


Minan memberikan pandangan mengenai bagaimana masyarakat dapat terlindungi dari jeratan pasal karet dalam UU ITE. Prinsipnya, setelah undang-undang disahkan menjadi hukum yang harus dipatuhi. 


Namun, jika norma dalam undang-undang dianggap bermasalah atau bertentangan dengan konstitusi, ruang bagi masyarakat untuk mengajukan pengujian konstitusionalitas ke Mahkamah Konstitusi tetap terbuka.


"Saya kira itu sebuah hak yang diberikan oleh konstitusi dan juga undang-undang kepada kita warga negara untuk menguji undang-undang apakah sesuai konstitusi atau tidak. Masyarakat bisa menggunakan hak ini untuk melakukan pengujian konstitusionalitas UU nomor 1 tahun 2024, terutama terkait pasal-pasal kontroversial yang telah saya sampaikan," jelasnya.

Baca Juga

Waspada Bermedsos, Kenali Sanksi UU ITE Jilid II Termasuk Potensi Kriminalisasinya


Libatkan masyarakat dalam menyusun Undang-Undang

Minan juga menggarisbawahi pentingnya melibatkan masyarakat secara substantif dalam proses legislasi, mencegah kerugian kepentingan umum dalam undang-undang seperti UU ITE dan UU Cipta Kerja.


"Melibatkan masyarakat secara substantif menjadi kunci agar masukan mereka tidak hanya diterima secara formal, tetapi dipertimbangkan serius dalam penyusunan undang-undang," ujarnya.


Minan menyebut pelibatan masyarakat bukan hanya prosedural semata, tetapi substansial. Semua pihak, termasuk elit politik, memiliki kewajiban sama untuk memahami dan mempraktikkan aturan yang diatur dalam undang-undang agar tidak terjerat oleh ancaman hukuman yang diatur oleh undang-undang tersebut.


Perubahan positif UU ITE

Meskipun berpotensi kontroversial, Minan mengapresiasi perubahan pada UU ITE Jilid II, khususnya terkait kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap anak-anak serta sanksi terhadap penyebaran informasi palsu.


"Undang-undang ini memang perlu direvisi karena sering disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membungkam kebebasan berpendapat," ujar Minan.


Dia menyambut baik perubahan pada Pasal 5 yang mengakui informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum sah dianggap kemajuan signifikan dalam penegakan hukum di era digital.

Baca Juga

Pakar Hukum Pidana Kritik Ketiadaan Asas Keadilan dalam Revisi UU ITE Jilid II


"Perubahan kedua tentang UU ITE secara umum telah memperbaiki beberapa pasal maupun menambahkan pasal baru yang sangat penting, misalnya pasal 5 ini merupakan sebuah kemajuan," kata Minan.


Beberapa perubahan lainnya yang dinilai positif oleh Minan melibatkan perlindungan khusus terhadap anak-anak, penegakan hukum terhadap isu kesusilaan dan perjudian, serta sanksi yang diperkuat terhadap penyebaran informasi palsu. 


Misalnya, Pasal 16A mengatur perlindungan terhadap anak yang rentan menjadi korban dalam informasi elektronik. Perubahan lainnya, pada pasal 27 yakni menguatkan ancaman pidana bagi orang yang sengaja tanpa hak menyiarkan informasi elektronik serta memiliki muatan melanggar kesusilaan dan memuat perjudian.


"Saya kira ini sangat penting dan relevan, mengapresiasi perubahan pasal mencegah praktik pemanfaatan elektronik yang melanggar kesusilaan serta memberantas judi online," ujarnya.


Kemudian perubahan pasal 28 ayat 1 memuat ancaman pidana bagi orang yang mendistribusikan untuk mentransmisikan informasi elektronik yang bermuatan bohong dan merugikan konsumen.


"Saya kira ini penting mengingat online market sangat menggejala dan seringkali dalam mempromosikan produk secara tidak jujur. Ini bisa mencegah atau menangani masalah seperti itu," tandas Minan.

ad

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Tekno 


 Postingan Lainnya 

Opsi Media Informasi Group

Baca Juga (Konten ini Otomatis dan tidak dikelola oleh kami)