WikiTok: Antitesis TikTok, Antidot Brain Rot - Tirto

 Internet 

WikiTok: Antitesis TikTok, Antidot Brain Rot

tirto.id - Sepanjang 2024, kata brain rot kerap muncul di dunia maya, termasuk di belantara media sosial. Namun, menjelang pergantian tahun, penggunaan kata tersebut lebih masif, bahkan bukan lagi sekadar kata slang. Bahkan, Oxford University Press menobatkannya sebagai "Word of the Year".

Jelas ada alasan kuat di balik penobatan tersebutBrain rot merujuk pada kondisi ketika seseorang menjadi "kosong" layaknya zombi akibat mengonsumsi konten digital kualitas rendah secara berlebihan.

Mulanya, istilah tersebut jamak digunakan oleh para pengguna internet dari Generasi Alpha. Namun, makin hari, relevansi istilah tersebut terhadap seluruh pengguna internet makin terasa. Tak peduli dari generasi mana, sudah terlampau banyak orang yang terjangkit brain rot.

Bicara soal brain rot, mau tidak mau kita mesti bicara soal TikTok. Mengapa TikTok? Karena, kendatipun saat ini nyaris semua pelantar media sosial memiliki fitur video pendek yang bisa digulirkan sampai kiamat, TikTok adalah pelopornya. Dari sanalah muncul tren video hiburan berdurasi pendek berbasis algoritma yang memprioritaskan gratifikasi instan di atas substansi.

Konsep brain rot sebetulnya bukan barang baru karena, di setiap era media, sebetulnya selalu ada konten-konten yang memprioritaskan gratifikasi instan dan menumpulkan otak. Namun, mesti diakui bahwa pada era media sosial inilah—wabil khusus pada era di mana video pendek menjadi rajanya konten—brain rot betul-betul teramplifikasi dengan magnitudo yang belum pernah disaksikan sebelumnya.

Kolom FYP TikTok, misalnya, menyajikan injeksi dopamin tanpa henti. Video-video yang ditampilkan sudah dikurasi melalui proses algoritmik untuk menahan penonton selama mungkin di pelantar tersebut.

Gempuran konstan konten-konten yang (terlalu) mudah dicerna ini pun, pada akhirnya, mengubah cara manusia mencerna informasi. Alih-alih menyelam dalam konten kaya makna dan manfaat, kita dikondisikan untuk menikmati hiburan yang cepat dan "jedag-jedug".

Sebenarnya, tak semua yang diunggah di TikTok maupun pelantar lainnya itu buruk. Di Amerika Serikat, misalnya, banyak anak muda akhirnya menemukan kebenaran tentang hal yang terjadi di Palestina berkat TikTok. Hanya saja, konten-konten semacam ini masih kalah telak secara jumlah dibanding konten yang menyebabkan brain rot tadi.

Scrolling Bukan Sembarang Scrolling

Di tengah lanskap digital ini, seorang programmer bernama Isaac Gemal memperkenalkan WikiTok, aplikasi web yang dirancang sebagai antitesis TikTok.

Jika TikTok menawarkan guliran tanpa akhir dari video pendek yang sering kali bersifat "receh", WikiTok menghadirkan pengalaman serupa tetapi dengan entri Wikipedia. Alih-alih disodorkan tren jogat-joget atau tantangan viral, pengguna akan menggulir potongan pengetahuan dari salah satu sumber informasi gratis terbesar di dunia.

Ilustrasi kecanduan media sosial

Ilustrasi kecanduan media sosial. FOTO/iStockphoto

Ide WikiTok berasal dari cuitan seseorang bernama Tyler Angert, yang bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika Wikipedia mengadopsi model guliran adiktif TikTok. Gemal pun merasa tertantang dan mencoba untuk mewujudkannya.

Alhasil, terciptalah antarmuka yang ramping dan bebas iklan. Setiap geseran (swipe) menampilkan artikel Wikipedia baru, lengkap dengan gambar ukuran penuh dan kutipan singkat. Jika Anda tertarik dengan sebuah entri, tombol "Baca Selengkapnya" akan membawa Anda langsung ke artikel lengkap di Wikipedia.

Gemal tidak berhenti hanya dengan menciptakan aplikasi WikiTok. Dia menjadikan kode WikiTok bersifat open-source untuk memantik kontribusi pengembang lain. Langkah ini sejalan dengan etos Wikipedia itu sendiri: pengetahuan gratis dan dapat diakses oleh semua orang.

Dalam sebuah wawancara dengan Ars Technica, Gemal mengaku sengaja menghilangkan algoritma dari WikiTok. Alasannya, "Saat ini hidup kita sehari-hari sudah dikuasai oleh algoritma yang kejam. Kenapa, sih, kita tidak boleh punya sebuah sudut kecil di dunia ini tanpa algoritma?"

Dengan menghilangkan kurasi algoritmik yang jadi identitas utama TikTok, WikiTok memastikan bahwa setiap guliran adalah langkah menuju pembelajaran hal baru, baik tentang peradaban kuno, fenomena ilmiah yang tidak dikenal, maupun tokoh sejarah yang belum pernah Anda dengar.

Bisakah WikiTok Sembuhkan Brainrot?

Sejujurnya, terlalu naif untuk berpikir bahwa WikiTok dapat sepenuhnya melawan efek brain rot. Daya tarik platform adiktif seperti TikTok bukan hanya soal formatnya, tetapi juga cara algoritma dan fitur yang dirancang untuk menjaga keterlibatan pengguna. WikiTok tidak memiliki daya pikat yang sama dan, bagi banyak orang, hal ini bisa membuatnya kurang menarik.

Namun, itu tidak membikin WikiTok lantas tidak relevan. Faktanya, keberadaan WikiTok makin menegaskan betapa pentingnya kualitas konten. Brain rot bukan hanya soal seberapa banyak yang kita konsumsi, melainkan juga apa yang kita konsumsi.

Video receh ala TikTok mungkin menyenangkan, tetapi hanya sekali bermakna sesudah itu mati. WikiTok berupaya membalikkan keadaan dengan menawarkan aliran informasi berkualitas tinggi dan terverifikasi yang diharapkan bisa membekas lebih lama.

Ilustrasi kecanduan media sosial

Ilustrasi kecanduan media sosial. FOTO/iStockphoto

WikiTok bukan satu-satunya pelaku dalam misi mulia ini. Platform lain juga telah mencoba menggabungkan sifat adiktif media sosial dengan konten edukatif. Misalnya, aplikasi Brilliant menggunakan pemecahan masalah interaktif untuk mengajarkan konsep matematika dan sains yang kompleks. Sementara itu, Curio mengurasi jurnalisme berkualitas tinggi ke dalam format audio yang mudah dikonsumsi saat bepergian. Bahkan, YouTube pun memiliki banyak sekali kreator yang menyajikan konten yang bernas dan berbasis riset.

Upaya seperti yang dilakukan WikiTok mungkin tidak dapat sepenuhnya mengimbangi arus konten berkualitas rendah yang membanjiri internet. Akan tetapi, gerakan ini merepresentasikan bangkitnya kesadaran untuk konsumsi digital yang lebih sehat.

WikiTok menawarkan alternatif bagi pengguna yang ingin keluar dari guliran tanpa makna, tanpa harus meninggalkan kenyamanan platform digital sepenuhnya.

Antidot Terbaik untuk Brainrot

Di titik ini kita mesti sadar bahwa tidak ada aplikasi atau alat web—sebagus apa pun desainnya—yang dapat menjadi antidot untuk brainrot. Solusi sebenarnya terletak pada cara kita mengelola waktu dan perhatian.

Meskipun platform alternatif seperti WikiTok menawarkan guliran yang lebih sehat, mereka tetap menjadi bagian dari ekosistem digital yang membuat kita terus terpaku pada layar.

Untuk benar-benar melawan efek negatif TikTok dan platform serupa, yang perlu kita lakukan adalah pergi jauh-jauh dari layar, entah itu komputer, laptop, tablet, ponsel pintar, maupun televisi. Sebagai gantinya, kita bisa meluangkan waktu dengan membaca buku fisik, berjalan-jalan, bertemu teman, atau sekadar duduk dalam keheningan tanpa layar bercahaya di depan kita.

Perlu dicamkan bahwa artikel ini tidak bermaksud mendemonisasi teknologi atau menolak media sosial sepenuhnya. Bagaimanapun, platform seperti TikTok memiliki tempatnya dan tidak ada yang salah dengan menikmati hiburan tanpa berpikir sesekali.

Namun, kuncinya adalah keseimbangan. Dengan lebih bijaksana dalam mengonsumsi konten, baik melalui alat seperti WikiTok maupun dengan menetapkan batasan waktu layar, kita dapat merebut kembali perhatian kita dan menghindari brain rot.

Pada akhirnya, pertempuran melawan brain rot bukan hanya tentang platform yang kita gunakan. Ini tentang cara kita memilih untuk terlibat dengan dunia di sekitar kita. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa dikendalikan oleh algoritma mana pun.


tirto.id - Mild report

Kontributor: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin

Baca Juga

Komentar

 Pusatin Tekno 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga (Konten ini Otomatis dan tidak dikelola oleh kami)