Dilema Keterlibatan AI dalam Karya Akademik, Etiskah? - Tirto
Kecerdasan Buatan
Dilema Keterlibatan AI dalam Karya Akademik, Etiskah?

tirto.id - Sebuah tangkapan layar dari aplikasi perpesanan beredar di X yang memuat poster seminar daring bertema panduan menulis artikel ilmiah secara cepat dengan menggunakan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI). Poster itu juga dibubuhi embel-embel ‘gratis’ bagi peserta yang ingin mengikuti seminar. Hal ini mengundang diskursus di media sosial soal batas penggunaan AI dalam penulisan karya akademik atau artikel ilmiah.
Pemanfaatan AI dalam dunia akademik dan perguruan tinggi saat ini memang menjadi diskursus yang terus berjalan. Kehadiran kecerdasan artifisial dipandang menjadi ancaman bagi kultur akademik yang mengedepankan integritas, etika, dan kedalaman telaah seorang akademisi. Di sisi lain, AI turut dipandang sebagai alat yang mampu membantu mengakselerasi hingga meningkatkan ketajaman karya ilmiah.
Titik tengah yang seimbang untuk mendudukkan AI sebatas ‘alat bantu’ kerja-kerja ilmiah ini semakin urgensi dilakukan di tengah perkembangan kecerdasan buatan dan teknologi yang mengalir deras. Persoalan etika dan integritas dunia akademik tak bisa dipandang sebatas slogan dan nilai-nilai luhur, karena praktik lancung dalam aras perguruan tinggi di Indonesia bukan rahasia lagi.
Tanpa adanya panduan komprehensif dan regulasi yang menjaga batas-batas disrupsi AI di perguruan tinggi, akan sulit merealisasikan tata kelola perguruan tinggi yang menghasilkan para peneliti dan akademisi berintegritas dan punya kepakaran mendalam.
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rakhmat Hidayat, memandang penggunaan AI di lingkungan perguruan tinggi tidak bisa dicegah. Bagaimanapun, AI adalah teknologi yang hadir untuk memudahkan kerja-kerja manusia, laiknya mesin pencari macam Google dulu ketika pertama kali hadir.

Namun dalam konteks pemanfaatannya, dalam penyusunan sebuah karya ilmiah atau tugas akademik, semisal tugas akhir, ada batasan-batasan yang perlu dipancang agar AI tak lebih dari sekadar ‘alat bantu’.
“Membantu atau mempermudah pengerjaan kerja-kerja akademik atau proses akademik ya, jurnal, skripsi dan seterusnya. Itu prinsipnya boleh sebenarnya, karena membantu misalnya mencari literatur, membuat presentasi, kemudian ada juga yang AI terjemah,” kata Rakhmat kepada wartawan Tirto, Rabu (30/7/2025).
Rakhmat berpendapat, yang dilarang atau perlu dihindari adalah menyerahkan seluruh kerja atau proses akademik kepada AI. Seperti meminta AI menulis seluruh skripsi atau tesis dan mencari argumentasi ilmiah tanpa mencantumkan referensi atau sumber publikasi.
Praktik semacam itu dipandang Rakhmat sebagai jalan pintas atau perilaku instan yang bisa menggerus etika akademik. Kerja-kerja akademik, seperti observasi lapangan, pendalaman literatur, riset kepada narasumber, hingga penyusunan naskah, semestinya tak sepenuhnya digantikan oleh AI.
“Misalnya sebuah jurnal, tesis, skripsi dikerjakan penuh-penuh oleh AI. Itu menjadi masalah di situ yang kemudian disebut dengan pelanggaran akademik,” ungkap Rakhmat.
Kemunculan AI, ujar Rakhmat, akhirnya membawa apa yang disebutnya sebagai ‘absurditas akademik’. Pasalnya, batas antara kualitas autentik dengan kualitas hasil AI semakin kabur. Hal ini akan menciptakan krisis tersendiri dalam dunia pendidikan tinggi apabila dibiarkan.
Beberapa titik tengah yang Rahkmat perhatikan dalam penggunaan AI adalah keterbukaan atau transparansi proses kerja akademik sebagai tanggung jawab integritas peneliti. Saat ini tidak sedikit artikel ilmiah atau karya akademik yang terang-terangan mencantumkan bahwa AI dilibatkan dalam proses penyusunan karya.
Itulah mengapa, kata dia, panduan dan regulasi penggunaan AI untuk perguruan tinggi perlu disosialisasikan secara masif oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.
“Jadi memang perlu sosialisasi, perlu informasi, diseminasi kepada stakeholder, mahasiswa, kepada akademisi agar tetap berada pada rambu-rambu dan prinsip-prinsip akademik yang on the track,” ujar Rakhmat.
Dilema Inovasi dan Integritas
Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji berpendapat, penggunaan AI pada pendidikan tinggi membawa dilema antara inovasi teknologi dan integritas akademik. ‘Kecepatan’ dalam proses kerja akademik jadinya membawa dua ujung ketika AI dilibatkan: efisiensi kerja atau pelanggaran akademik.
Maka, menurut Ubaid, pemanfaatan AI dalam tugas maupun karya ilmiah perlu dilihat sejauh mana dalam menghasilkan suatu karya. Apabila AI dilibatkan dalam penghitungan, terjemah bahasa, mengoreksi salah ketik, atau mencari referensi, hal itu masih ranah diterima.
Tapi ketika AI digunakan menghasilkan substansi utama karya ilmiah sampai menjiplak atau mencatut hasil karya-karya ilmiah tanpa referensi, praktik itu merupakan bentuk pelanggaran akademik dan bentuk plagiarisme.
“Jika mahasiswa dan dosen terjebak perangkap AI untuk melakukan simplifikasi bahkan menyelesaikan semua tugas atau membuat karya tulis yang menggunakan AI secara instan keseluruhan tanpa kontribusi pemikiran atau kerangka, cenderung plagiasi ide,” tegas Ubaid kepada wartawan Tirto, Rabu (30/7/2025).
Dalam kerangka hukum, plagiasi disebut dalam Pasal 9 huruf c dan Pasal 10 ayat (3) di Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang Integritas Akademik dalam Menghasilkan Karya Ilmiah. Plagiasi disebut sebagai salah satu pelanggaran integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah.
Apa yang disebut plagiarisme di antaranya: mengambil sebagian atau seluruh karya milik orang lain tanpa menyebut sumber; menulis ulang tanpa menggunakan bahasa sendiri sebagian atau seluruh karya milik orang; serta mengambil sebagian atau seluruh karya atau gagasan milik sendiri yang telah diterbitkan tanpa menyebut sumber.
Sementara di Pasal 28 ayat 5 dan Pasal 42 ayat 30 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, ditegaskan bahwa sanksi pelaku plagiarisme dalam dunia akademik adalah gelar akademik dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh perguruan tinggi.
Hal ini berlaku juga bagi lulusan pendidikan tinggi yang menggunakan karya ilmiah untuk memperoleh ijazah dan gelar. Apabila, terbukti merupakan jiplakan atau plagiasi, ijazahnya dinyatakan tidak sah dan gelarnya dicabut.
Perlu Kehadiran Payung Hukum
Ubaid memandang penggunaan AI sudah meluas di perguruan tinggi tetapi belum diimbangi kehadiran aturan yang memadai. Ia menilai bahwa perlu ada definisi hukum dan akademik yang eksplisit mengenai plagiarisme AI, termasuk sanksi yang menyertainya.
Selain itu, perlu ada regulasi yang mewajibkan penggunaan teknologi pendeteksi AI dalam proses peer review dan penerbitan jurnal ilmiah. Teknologi itu, menurut Ubaid, harus disertai standar verifikasi agar mampu membedakan penggunaan AI yang bisa ditoleransi dan yang melanggar etika akademik.
“Harus ada disclaimer yang jelas dan standar tentang sejauh mana AI digunakan dalam penulisan artikel,” imbuh dia.

Dalam artikel ilmiah bertajuk "Using artificial intelligence in academic writing and research: An essential productivity tool" (2024) yang ditulis oleh Mohamed Khalifa dan Mona Albadawy, disebutkan bahwa AI sebetulnya bisa menjadi alat produktivitas penting yang substansial dalam merevolusi penulisan dan penelitian akademis.
Setidaknya berdampak pada enam domain dalam penulisan akademis: pengembangan ide dan desain penelitian; pengembangan dan penataan konten; tinjauan dan sintesis literatur; manajemen dan analisis data; dukungan penyuntingan, tinjauan, dan penerbitan; hingga komunikasi, penjangkauan, dan kepatuhan etika.
Namun dalam rekomendasi ditekenkan, penggunaan AI yang etis dan transparan sangatlah penting. “Peneliti harus berkomitmen untuk menggunakan perangkat ini dengan cara yang menjunjung tinggi integritas dan orisinalitas karya mereka, menghindari penyalahgunaan yang dapat merusak standar akademik,” tulis Khalifa dan Albadawy.
Sementara dalam karya ilmiah yang ditulis Balalle & Pannilage (2025), disebut bahwa AI punya potensi besar untuk berkembang dan pengaruhnya terhadap pendidikan tidak terbatas. Oleh karenanya, lembaga pendidikan mesti menciptakan budaya integritas akademik untuk mencegah pelanggaran akademik dan memaksimalkan manfaat penggunaan AI dalam pendidikan.
“Sekalipun sebuah lembaga berinvestasi dalam perangkat lunak deteksi AI yang tepat, metode deteksi pelanggaran akademik tradisional tetap harus digunakan untuk meningkatkan integritas akademik,” tulis mereka.
Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, menyatakan bahwa pemerintah telah membuat panduan penggunaan AI berjudul "Panduan penggunaan GenAI, pada pembelajaran di perguruan tinggi". Tetapi panduan itu tidak spesifik terkait penulisan jurnal atau karya ilmiah. Jika bicara domain, kata Edi, semestinya saat ini Kemdiktisaintek harus menerbitkan surat edaran atau semacamnya untuk dosen-dosen di kampus terkait penggunaan AI untuk karya ilmiah.
“Termasuk lembaga akreditasi jurnal ilmiah kita, Arjuna, yang menghasilkan pemeringkatan Sinta, perlu mendorong jurnal-jurnal kita untuk menyisipkan ketentuan sejauh mana penulis boleh dibantu GenAI,” ucap Edi kepada wartawan Tirto, Rabu (30/7/2025).
Menurut Edi, akan bermasalah apabila dosen atau peneliti di kampus seratus persen hanya andalkan AI untuk menulis, mengajar, dan aktivitas lainnya. Karena bisa jadi hasil buatan AI tidak sepenuhnya akurat.
Untuk penulisan ilmiah pun demikian, bisa jadi kelamaan dosen tidak bisa menyusun kalimat yang argumentatif, koheren, dan sistematis, karena terbiasa dibuatkan kalimat oleh AI. Oleh karena itu, yang ideal adalah dosen harus menjadi pihak yang mengontrol AI.
“Tetap ide dasarnya, kerangka dasar dari penulis, dan harus dikoreksi ulang. Jadi, menulis ilmiah untuk keperluan publikasi di jurnal tidak ada larangan pakai ChatGPT, tetapi yang kontrol tetap penulis,” ungkap Edi.
Sementara itu, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menyatakan bahwa karya ilmiah tidak boleh sepenuhnya dibuat oleh AI, melainkan perlu melibatkan proses kreatif manusia seperti penyuntingan, pengembangan ide, dan penilaian atas kebaruan atau novelty karya tersebut.
AI seharusnya tidak menggantikan proses berpikir ilmiah. Karenanya, Satria mendorong perguruan tinggi di Indonesia menyusun Code of Conduct atau Code of Ethics penggunaan AI dalam dunia akademik. Ia menyebut bahwa beberapa universitas di Eropa telah lebih dulu merancang pedoman semacam itu.
“AI seharusnya menjadi mitra diskusi, bukan aktor utama. Perannya membantu menjawab rasa penasaran ilmiah, bukan menggantikan peran peneliti,” ucap dia kepada wartawan Tirto, Rabu (30/7/2025).
tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty