Kebocoran 100.000 Dokumen Ungkap Ekspor Sistem Sensor Internet China, - SindoNews
3 min read
Dunia Internasional,
Kebocoran 100.000 Dokumen Ungkap Ekspor Sistem Sensor Internet China
Jum'at, 19 September 2025 - 11:18 WIB
Kebocoran masif lebih dari 100.000 dokumen telah menyeret nama perusahaan China, Geedge Networks, yang diduga memasok alat sensor dan pengawasan ke berbagai pemerintah di dunia. Foto/Money Control
A
A
A
JAKARTA - Kebocoran masif lebih dari 100.000 dokumen telah menyeret nama perusahaan China, Geedge Networks, yang diduga memasok alat sensor dan pengawasan ke berbagai pemerintah di dunia. Demikian dilaporkan The Epoch Times dan dikutip ANI, Jumat (19/9/2025).
Pengungkapan ini menyoroti pengaruh China dalam mengekspor otoritarianisme digital, memicu perdebatan tentang keamanan siber, hak asasi manusia, dan tata kelola internet global.
Geedge, yang didirikan oleh Fang Binxing—dikenal sebagai “Bapak Great Firewall China"—memiliki kontrak dengan sejumlah negara seperti Kazakhstan, Ethiopia, Pakistan, Myanmar, serta dengan otoritas di Xinjiang, kawasan yang kerap dikritik karena pengawasan ketat dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Baca Juga: Komite DPR AS: China Gunakan Serangan Siber agar Unggul di Meja Perundingan
Menurut laporan The Epoch Times, Presiden Dynamic Internet Technology (DIT) Bill Xia menyatakan bahwa kebocoran dokumen ini bersifat disengaja dan kemungkinan berasal dari dalam perusahaan sendiri, yang selama ini membantu rezim otoriter mengendalikan konten daring dan memantau warganya.
DIT yang didirikan Xia pada 2001 dikenal mengembangkan Freegate dan perangkat lunak lain yang memungkinkan pengguna internet di China melewati Great Firewall. Ia menggambarkan kebocoran ini sebagai pukulan “menghancurkan” bagi Geedge, yang diprediksi akan menggerus kepercayaan di kalangan karyawan serta membuka praktik internal sensitif perusahaan tersebut.
Dokumen bocor itu memperlihatkan upaya Geedge dalam membongkar perangkat anti-sensor dan menerapkan teknologi deep packet inspection (DPI). Kebocoran ini menimbulkan kekhawatiran tentang penyebaran represi digital secara global serta dampaknya jangka panjang terhadap kebebasan daring.
Rekaman yang bocor mencakup korespondensi, catatan rapat, cetak biru teknis produk, sistem penggantian biaya, hingga data personalia.
Peneliti di InterSecLab yang menganalisis data tersebut mengonfirmasi kontrak Geedge dengan pemerintah Kazakhstan, Ethiopia, Pakistan, Myanmar, dan satu negara yang tidak disebutkan namanya. Perusahaan ini juga bekerja sama dengan otoritas di Xinjiang, wilayah yang luas dikritik karena pengawasan ketat dan pelanggaran HAM.
Pengungkapan ini menyoroti pengaruh China dalam mengekspor otoritarianisme digital, memicu perdebatan tentang keamanan siber, hak asasi manusia, dan tata kelola internet global.
Geedge, yang didirikan oleh Fang Binxing—dikenal sebagai “Bapak Great Firewall China"—memiliki kontrak dengan sejumlah negara seperti Kazakhstan, Ethiopia, Pakistan, Myanmar, serta dengan otoritas di Xinjiang, kawasan yang kerap dikritik karena pengawasan ketat dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Baca Juga: Komite DPR AS: China Gunakan Serangan Siber agar Unggul di Meja Perundingan
Menurut laporan The Epoch Times, Presiden Dynamic Internet Technology (DIT) Bill Xia menyatakan bahwa kebocoran dokumen ini bersifat disengaja dan kemungkinan berasal dari dalam perusahaan sendiri, yang selama ini membantu rezim otoriter mengendalikan konten daring dan memantau warganya.
DIT yang didirikan Xia pada 2001 dikenal mengembangkan Freegate dan perangkat lunak lain yang memungkinkan pengguna internet di China melewati Great Firewall. Ia menggambarkan kebocoran ini sebagai pukulan “menghancurkan” bagi Geedge, yang diprediksi akan menggerus kepercayaan di kalangan karyawan serta membuka praktik internal sensitif perusahaan tersebut.
Dokumen bocor itu memperlihatkan upaya Geedge dalam membongkar perangkat anti-sensor dan menerapkan teknologi deep packet inspection (DPI). Kebocoran ini menimbulkan kekhawatiran tentang penyebaran represi digital secara global serta dampaknya jangka panjang terhadap kebebasan daring.
Rekaman yang bocor mencakup korespondensi, catatan rapat, cetak biru teknis produk, sistem penggantian biaya, hingga data personalia.
Peneliti di InterSecLab yang menganalisis data tersebut mengonfirmasi kontrak Geedge dengan pemerintah Kazakhstan, Ethiopia, Pakistan, Myanmar, dan satu negara yang tidak disebutkan namanya. Perusahaan ini juga bekerja sama dengan otoritas di Xinjiang, wilayah yang luas dikritik karena pengawasan ketat dan pelanggaran HAM.
Penyebaran Represi Digital
Sejumlah dokumen yang bocor turut memperlihatkan upaya Geedge untuk membongkar alat bypass sensor, khususnya yang berbasis open source. Meski proyek open source kerap dipuji karena sifat kolaboratifnya, Xia berpendapat bahwa justru lebih mudah bagi perusahaan pengawasan untuk menganalisis dan memblokirnya.
Ia menambahkan bahwa sebagian besar VPN tidak benar-benar mampu mengalahkan Great Firewall China, meski banyak yang percaya sebaliknya, karena protokolnya mudah dibatasi, sebagaimana dikutip The Epoch Times.
Xia menyatakan bahwa dokumen-dokumen tersebut akan membantu pengembang teknologi kebebasan internet memahami lebih baik mekanisme yang digunakan untuk menekan akses daring. Ia menekankan bahwa daftar klien Geedge memperlihatkan tren konsisten: pemerintahan otoriter di sejumlah negara berkembang menjadi konsumen utama sistem sensor semacam itu.
“Hanya Partai Komunis China yang bisa memberlakukan kontrol semacam ini sekaligus tetap mendorong pertumbuhan ekonominya,” ujarnya.
Kebocoran ini menjadi salah satu yang terbesar dalam industri ekspor sensor China, menimbulkan pertanyaan tentang penyebaran represi digital di tingkat global serta konsekuensinya yang panjang bagi kebebasan internet, imbuh laporan The Epoch Times.
(mas)