Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Ingin Cepat Kaya? Kerja, Jangan Judi - Kumpulan Informasi Teknologi Hari ini, Setiap Hari Pukul 16.00 WIB
    Home Berita Chromebook Featured Laptop

    Paradoks Laptop Murah: Mengapa Chromebook yang Merajai Sekolah Negara Maju Justru Melukai Pendidikan di Indonesia? | Sindonews

    5 min read

     

    Paradoks Laptop Murah: Mengapa Chromebook yang Merajai Sekolah Negara Maju Justru Melukai Pendidikan di Indonesia? | Halaman Lengkap


    Suasana belajar mengajar menggunakan Chromebook di kelas di Amerika. Foto: ist

    JAKARTA 

    - Bayangkan sebuah ruang kelas di Amerika Serikat, Jepang, atau Swedia. Para siswa dengan lincah membuka laptop ramping, masuk dalam hitungan detik, dan langsung terhubung ke dunia pembelajaran digital.

    Perangkat yang mereka gunakan kemungkinan besar adalah Chromebook—laptop sederhana, aman, dan terjangkau yang telah menjadi standar emas pendidikan di negara-genggara maju.

    Dari Australia hingga Inggris, dari Kanada hingga Selandia Baru, Chromebook adalah simbol efisiensi dan aksesibilitas.

    Namun, di belahan dunia lain, kisah yang sama terdengar seperti fiksi ilmiah yang jauh dari kenyataan. Di tengah gembar-gembor harganya yang murah, mengapa perangkat ini justru menjadi pilihan yang problematis dan kurang populer di negara berkembang, terutama di Indonesia?

    Jawabannya adalah sebuah paradoks yang menyakitkan: kekuatan terbesar Chromebook justru menjadi kelemahan fatalnya di wilayah yang paling membutuhkannya.

    Bergantung Penuh pada Internet
    Paradoks Laptop Murah: Mengapa Chromebook yang Merajai Sekolah Negara Maju Justru Melukai Pendidikan di Indonesia?

    Secara filosofi, Chromebook adalah terminal menuju internet. Ia dirancang untuk hidup di dunia maya, dengan sistem operasi ringan yang menyimpan sebagian besar data dan menjalankan aplikasi melalui cloud.

    Tanpa koneksi internet yang stabil dan cepat, sebuah Chromebook secara drastis kehilangan fungsinya. Inilah jurang pemisah antara negara maju dan Indonesia. Sementara siswa di Tokyo bisa mengandalkan Wi-Fi di setiap sudut, jutaan siswa di Indonesia berjuang untuk sekadar mendapatkan satu bar sinyal.

    Data dari Center of Economics and Law Studies (CELIOS) melukiskan gambaran yang suram. Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, mengungkapkan fakta yang menohok: pada 2021, hanya sekitar 17% hingga 20% desa di wilayah Maluku dan Papua yang memiliki akses internet berkualitas baik.

    "Ini tercermin juga sebenarnya dari data BPS, yang menyebutkan untuk provinsi yang masih melakukan penjualan secara online, di Papua, di Maluku, dan Indonesia Timur itu masih relatif sekitar di bawah 10%," jelas Nailul.

    Sebagai perbandingan, di Yogyakarta dan Jakarta, angka pemanfaatan internet untuk ekonomi digital mencapai 37% hingga 45%.

    Jika pelaku usaha saja kesulitan memanfaatkan internet untuk berdagang, bagaimana mungkin kita bisa berharap siswa di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dapat mengandalkan laptop yang 90% fungsinya bergantung pada koneksi internet untuk belajar?

    Perjuangan di Balik Layar

    Kisah perjuangan ini bukan hanya soal ketiadaan sinyal, tetapi juga kualitasnya. Aries Setiadi, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), menggambarkan drama sehari-hari yang dihadapi banyak keluarga.

    Koneksi yang lambat dan tidak stabil membuat masyarakat enggan menggunakan layanan digital.

    Dalam kondisi seperti ini, memaksakan penggunaan perangkat yang haus koneksi seperti Chromebook hanya akan menambah frustrasi dan menghambat proses belajar, bukan memudahkannya.

    Ilusi Kata 'Murah'
    Paradoks Laptop Murah: Mengapa Chromebook yang Merajai Sekolah Negara Maju Justru Melukai Pendidikan di Indonesia?
    c

    Argumen utama Chromebook adalah harganya yang terjangkau, seringkali di kisaran USD100–USD200 (Rp 1,5 juta - Rp 3 juta) di pasar global.

    Namun, "murah" adalah konsep yang relatif. Bagi banyak keluarga di Indonesia, angka tersebut setara dengan pendapatan sebulan penuh.

    Ketika sebuah keluarga berhasil mengumpulkan dana untuk membeli satu komputer, prioritas utamanya adalah fungsionalitas.

    Mereka membutuhkan perangkat yang bisa diandalkan, terutama saat offline. Sebuah laptop Windows bekas atau kelas pemula, meskipun lebih lambat, menawarkan fleksibilitas yang tidak dimiliki Chromebook: kemampuan untuk menginstal berbagai aplikasi, menyimpan materi pelajaran secara lokal, dan bekerja penuh tanpa koneksi internet.

    Pada akhirnya, Chromebook adalah alat yang dirancang untuk ekosistem yang mapan—infrastruktur internet yang merata, daya beli yang stabil, dan dukungan teknis yang mudah diakses.

    Memaksakan adopsinya di Indonesia tanpa menyelesaikan masalah fundamental konektivitas adalah seperti memberikan mobil balap kepada seseorang yang tidak memiliki jalan raya.

    Alih-alih menjadi solusi, ia berisiko menjadi simbol ketidaksetaraan digital yang semakin dalam, meninggalkan siswa-siswa di wilayah paling rentan semakin jauhtertinggal.

    (dan)

    Komentar
    Additional JS