Sosial Media
powered by Surfing Waves
0
News
    Ingin Cepat Kaya? Kerja, Jangan Judi - Kumpulan Informasi Teknologi Hari ini, Setiap Hari Pukul 16.00 WIB
    Home Buzzer Featured Komisi I DPR RUU ITE Spesial

    Komisi I Usul RUU ITE: Buzzer Destruktif Terorganisir Bisa Dipidana Tanpa Aduan | kumparan

    9 min read

     

    Komisi I Usul RUU ITE: Buzzer Destruktif Terorganisir Bisa Dipidana Tanpa Aduan | kumparan



    Komisi I DPR RI menggelar rapat kerja dengan Menkomdigi, Meutya Hafid di DPR, Senin (8/12), untuk membahas penataan ulang regulasi untuk melawan disinformasi di dunia maya. Pembahasan mereka mengerucut pada serangan digital ke pemerintah dan DPR yang bisa berujung pada kerusuhan seperti pada Agustus 2025 lalu.

    Wakil Ketua Komisi I DPR, Sukamta menilai, serangan terhadap DPR di media sosial mayoritas menggunakan robot atau buzzer yang terorganisir. Sehingga, perlu ada regulasi yang bisa memberantas penggunaan buzzer yang mengancam keamanan negara.

    “Nah, kalau kita amati di medsos-medsos, serangan-serangan ke DPR hari ini, bukan kemarin dulu, itu mulai muncul kembali, seruan pembubaran DPR, tagih RUU Perampasan aset. Nah kami menengarai serangan-serangan medsos ini mayoritas pakai robot,” ucap Sukamta.

    “Kami melihat bahwa fenomena buzzer di Indonesia ini telah berevolusi dari yang dulunya itu aktivitas individual terus menjadi industri yang terorganisir yang seringkali dioperasikan oleh biro-biro komunikasi atau suatu agensi,” tambahnya.

    Ia menilai, peran buzzer sangat besar dalam membentuk persepsi publik. Hal ini pun menurutnya merupakan bentuk ‘pembusukan komunikasi’.

    “Buzzer politik ini berperan signifikan dalam menggiring opini di medsos khususnya melalui penggunaan hashtag di suatu platform tertentu untuk mencapai trending topic, bisa berupa narasi, konten video foto dan seterusnya. Perkembangan industri buzzer ini menurut saya Ini berkontribusi pada yang disebut pembusukan komunikasi politik di mana narasi kebencian, hoaks dan disinformasi diproduksi secara masif dengan tujuan tertentu,” ucap Sukamta.

    “Ini bukan sekadar masalah etika digital. Tapi juga ini masalah ekonomi politik media di mana buzzer itu berfungsi sebagai alat kepentingan elite politik tertentu atau kepentingan komersial,” tambahnya.

    Sukamta menilai, penanganan terhadap buzzer yang membahayakan ini masih hanya pada hilirnya. Ia merasa, perlu ada tindakan untuk memberantas buzzer hingga ke agensi yang mengorganisirnya.

    “Nah kalau cara kita menangani itu masih sporadik sektoral, Komdigi saja, terus BSSN jalan sendiri, polisi jalan sendiri, saya khawatir kita akan kalah lagi. Apalagi kalau kita penanganannya selain sporadik juga kadang-kadang tidak sistematis,” ucap Sukamta.

    “Yang kita lihat misalnya penanganan hukum hanya menyasar pengguna individu, levelnya level hilir. Kalau ini dilakukan terus menerus, ini akan selalu gagal karena tidak menyasar operator agensi yang mendanai dan mengorganisir kampanye tersebut,” tambahnya.

    Ia khawatir, kerusuhan Agustus bisa terulang lagi bila masalah buzzer tak ditangani serius.

    “Hari ini itu kita tidak memiliki pegangan informasi benar itu seperti apa dalam hampir semua isu yang menjadi trending. Bu menteri, kalau ini tidak ditangani saya khawatir krisis ini nanti ke depan sekali itu akan terjadi kerusuhan sosial seperti Agustus kemarin seperti peningkatan kasus kekerasan dan penurunan moral,” ucap Sukamta.

    “Oleh karena itu, kami berharap strategi penanganan ini harus bergeser dari sekadar penyaringan konten menjadi pembinaan nalar kritis yang mendalam,” tambahnya.

    Sukamta pun mengusulkan agar UU ITE direvisi kembali. Harus ada pengaturan di mana konten-konten buzzer yang membahayakan negara bisa langsung ditindak tanpa adanya delik aduan.

    “Kondisi darurat itu tidak bisa menunggu birokrasi. Posisi yang sudah jelas ada ancaman pada pejabat negara, orang-orang pengambil keputusan kita masih menunggu delik aduan, menunggu aduan untuk menurunkan konten yang sifatnya provokatif tersebut,” ucap Sukamta.

    “Saya kira ini maksud saya pentingnya barangkali ya kita pikirkan apakah di UU ITE, khusus untuk hal yang terkait dengan aktivitas buzzing yang destruktif dan yang terorganisir itu bisa dilakukan penindakan yang dikecualikan dari delik aduan,” tambahnya.

    Meutya menanggapi usulan Sukamta tersebut. Menurutnya, Komdigi mendukung usulan revisi UU ITE agar bisa menindak buzzer yang mengganggu ketertiban negara.

    “Terkait revisi UU ITE, kita juga mendukung, memang ada ranah yang ini mungkin juga bagus karena ada masukan dari mana-mana bahwa ada ranah yang mungkin memerlukan lebih kejelasan lagi dari apa sih yang dinamakan gangguan ketertiban hukum, mana yang kemudian ada ancaman negara dan sebagainya,” ucap Meutya.

    “Jadi kalau memang ini lebih detail lagi saya rasa akan mendapatkan dukungan dari banyak pihak sehingga pasalnya menjadi jelas,” tambahnya.

    Menurut Meutya, kini masih banyak yang menilai beberapa pasal karet di UU ITE. Namun, menurutnya tak ada pasal karet. Hanya beberapa pasal perlu penjelasan lebih mendalam agar posisinya lebih kuat, termasuk di persoalan buzzer.

    “Kalau sekarang masih ada, ini kok pasalnya agak pasal karet gitu, dengan nanti kalau dijelaskan lebih lanjut saya rasa itu akan menjadi lebih kuat,” ucap Meutya.

    “Sesungguhnya sekarang pun tidak ada pasal karet. Kita juga bisa membaca dari tulisan itu hanya memang kalau itu lebih dijelaskan lagi, buat kami juga menjadi pegangan yang lebih kuat lagi dalam menentukan langkah-langkah ke depan,” tandasnya.

    Komentar
    Additional JS