Korupsi Praktek Kuota Internet Hangus, IAW: Kerugian Negara Rp 63 Triliun per Tahun - Progresif Jaya | Berita Terkini Berita Utama


progresifjaya.id, JAKARTA – Dalam era digital seperti sekarang ini, internet merupakan kebutuhan utama masyarakat. Dengan demikian kebutuhan kuota guna menjalankan prangkat telekomunikasi juga semakin besar. Contoh sederhana saja, hampir semua penduduk di Indonesia menggunakan handphone (HP), dari anak-anak sampai orang dewasa dan manula sekalipun.
Nah dari sini bisa dihitung berapa besar quota internet yang dipakai setiap harinya. Sedangkan yang memakai HP bisa lebih dari 100 juta atau lebih 50 persen penduduk Indonesia.
Selama ini tidak ada regulasi baku mengenai kuota internet yang digunakan masyarakat. Para operator seluler seenak jidatnya saja membuat aturan penggunaan quota kepada konsumennya. Salah satunya aturan quota yang hangus setelah melewati masa berlakunya.
Pertanyaannya, kemana larinya uang pelanggan yang dibayar untuk membeli paket quota itu? Sebab quota yang masih ada dengan jumlah nominal tertentu menjadi hilang atau lenyap. Nah, inilah yang menjadi kerugian para konsumen.
Indonesian Audit Watch (IAW) menyoroti hal itu dengan mendesak dilakukannya audit menyeluruh terhadap dugaan kerugian masyarakat konsumen, bahkan kerugian negara yang ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah. Kerugian ini disebut berasal dari praktik kuota internet hangus yang dilakukan para perusahaan operator telepon seluler swasta.
Jika perusahaan itu merupakan BUMN, maka praktik quota internet hangus bisa dikategorikan korupsi. Seperti perusahaan operato anak perusahaan PT Telkom Indonesia. Oleh karenanya IAW minta Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan Agung turun tangan.
Menurut IAW, praktek kuota hangus sudah terjadi sejak 2009, di mana sisa kuota internet pelanggan yang tidak terpakai akan otomatis hangus tanpa ada pertanggungjawaban keuangan dari perusahaan penyedia layanan. IAW memperkirakan kerugian masyarakat akibat hal ini bisa mencapai Rp63 triliun per tahun atau sekitar Rp600 triliun dalam sepuluh tahun terakhir. Ketiadaan regulasi yang mengatur pencatatan dan pelaporan kuota hangus menjadi salah satu sorotan utama.
Selain itu, IAW juga menyoroti dugaan korupsi di salah satu anak usaha Telkom yang saat ini tengah diselidiki Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, menilai kasus tersebut sebagai “fenomena gunung es” yang mencerminkan potensi masalah sistemik. Ia menyebut, audit menyeluruh perlu dilakukan terhadap seluruh anak usaha Telkom sejak tahun 2010.
Sebagai lembaga pengawas akuntabilitas keuangan publik, IAW meminta Presiden Prabowo Subianto, BPK, KPK, Kejaksaan Agung, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Kementerian BUMN, agar mengambil langkah serius untuk memeriksa potensi kerugian negara yang ditimbulkan.
Menurut IAW, praktik kuota hangus bisa dikategorikan sebagai “uang publik yang menguap tanpa jejak”, dan berpotensi melanggar Undang-Undang Keuangan Negara, Undang-Undang BUMN, serta Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kasus yang terjadi di tubuh Telkom dinilai dapat merusak kepercayaan publik terhadap BUMN digital.
Melalui surat terbuka bertanggal 29 Mei 2025 yang dirilis di Jakarta, IAW mengajukan empat tuntutan utama: Pertama, Presiden RI diminta memerintahkan audit terhadap model bisnis kuota hangus serta regulasi pelaporan oleh perusahaan penyedia layanan. Kemudian KPK dan Kejaksaan Agung diminta mengambil alih penyidikan kasus Telkom di tingkat nasional.
BPK diminta melakukan audit tematik terkait kuota hangus dan kepatuhan hukum provider dan pemerintah diminta segera menerbitkan regulasi khusus yang mengatur pertanggungjawaban atas kuota hangus.
IAW menegaskan, negara wajib hadir dalam mengawasi aset publik yang hilang tanpa transparansi, serta menekankan pentingnya penegakan hukum dan akuntabilitas di sektor telekomunikasi.
Sementara itu Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PAN, Okta Kumala Dewi, angkat suara soal temuan potensi kerugian negara akibat praktik hangusnya kuota internet pelanggan. per tahun. Okta menilai, model bisnis yang membiarkan kuota yang telah dibayar hilang begitu saja bukan hanya soal teknis, tapi menyangkut prinsip keadilan dan transparansi.
“Saya sangat prihatin atas temuan ini. Kuota internet yang sudah dibeli masyarakat adalah hak yang tidak boleh hilang tanpa jejak. Ini bukan semata masalah teknis, ini soal transparansi dan keadilan. Negara tidak boleh diam,” ujar Okta dalam keterangan tertulis, Minggu (8/6).
Ia pun mendorong Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) serta Kementerian BUMN untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap pengelolaan kuota oleh operator seluler, terutama yang berada di bawah BUMN. “Masyarakat berhak tahu ke mana perginya kuota yang tidak terpakai dan bagaimana pencatatannya di laporan keuangan perusahaan,” lanjutnya.
Selain itu, ia juga mendesak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut turun tangan untuk menyelidiki potensi penyimpangan yang mungkin terjadi. “Kalau praktik ini sudah terjadi selama lebih dari satu dekade, dan nilainya mencapai puluhan triliun per tahun, maka ini bukan lagi kelalaian, melainkan potensi penyimpangan. Harus diusut tuntas,” tegasnya.
Sebagai solusi jangka panjang, Okta mendorong adanya regulasi yang mewajibkan operator menyediakan fitur rollover kuota, yaitu mekanisme agar kuota yang tidak terpakai bisa dialihkan ke bulan berikutnya.
“Rollover kuota adalah salah satu cara sederhana tapi berdampak besar. Hak masyarakat jangan terus dikorbankan demi keuntungan sepihak,” tambahnya.
Editor: Isa Gautama
0 Komentar