Sembilan Pengadaan Fiktif Demi Target Bisnis di Telkom Bikin Negara Boncos Rp 464,9 M | tempo.co
Sembilan Pengadaan Fiktif Demi Target Bisnis di Telkom Bikin Negara Boncos Rp 464,9 M | tempo.co
JAKSA Penuntut Umum membeberkan modus korupsi tiga mantan pegawai PT Telkom dengan membuat serangkaian pengadaan fiktif demi memenuhi target bisnis perusahaan. Alih-alih mendongkrak kinerja, skema ini justru berujung gagal bayar dari pihak swasta dan menyeret kerugian negara hingga Rp 464,9 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan,
Fakta tersebut terungkap dalam surat dakwaan General Manager Enterprise Divisi Enterprise Service (DES) Telkom periode 2017–2020, August Hoth Mercyon Purba, yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat pada Senin, 24 November 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Baca berita dengan sedikit iklan,
Jaksa Magriba Jayantimala menyebut para terdakwa menerapkan pola berulang, yakni merekayasa proyek, mengalirkan dana lewat mitra fiktif, lalu mencatatnya sebagai pemenuhan target bisnis. “Proyek-proyek ini justru berujung gagal bayar dari pihak swasta hingga menyebabkan kerugian keuangan negara senilai Rp 464,9 miliar,” kata dia pada saat membacakan surat dakwaan.

Salah satu contoh modus yang diungkap jaksa adalah kerja sama Telkom dengan PT Japa Melindo Pratama. Perusahaan itu mengaku kekurangan modal untuk proyek pengadaan material mekanikal, elektrikal, dan elektronik di Puri Orchard Apartemen. Sehingga disepakati PT Telkom akan memberikan pembiayaan kepada PT Japa Melindo dengan menunjuk PT MDR Indonesia sebagai mitra pelaksana. Padahal, Telkom bukan lembaga pembiayaan.
Magriba mengatakan bahwa para terdakwa tetap mencairkan dana melalui skema yang direkayasa. DES Telkom membuat pengadaan fiktif bertajuk outbound logistik, lalu menunjuk anak perusahaan Telkom, PT Graha Sarana Duta, sebagai mitra formalitas—meski perusahaan ini tak memiliki lini bisnis terkait proyek PT Japa.

Dari skema tersebut, Telkom mencairkan Rp 55 miliar, namun PT Japa gagal mengembalikan dana itu. Direktur Utama PT Japa, Eddy Fitra, disebut tidak mampu melunasi pembiayaan sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar jumlah tersebut.
Modus serupa terjadi pada kerja sama fiktif dengan PT Ata Energi. Telkom membuat kontrak pengadaan 400 unit rectifier, pekerjaan integrated control, 93 unit genset, 710 unit lithium battery, dan 700 unit baterai lithium. Nilai proyek mencapai Rp 113,9 miliar.
Setelah pencairan, Direktur PT Ata Energi, Nur Hadiyanto, memberikan komitmen fee Rp 800 juta kepada August Hoth Mercyon Purba. Namun, perusahaan itu juga gagal membayar kembali pembiayaan. Kerugian negara dari proyek ini mencapai Rp 113.986.104.600.
Magriba menyebut bahwa sepanjang 2016–2019, setidaknya ada sembilan pengadaan fiktif yang disetujui August dan menyebabkan total kerugian negara Rp 464,9 miliar.
Dalam surat dakwaan, ada 11 orang yang didakwa memperkaya diri sendiri maupun korporasi. Dari internal Telkom, para terdakwa adalah August Hoth Mercyon Purba; Account Manager Tourism Hospitality Service periode 2015–2017, Herman Maulana; serta Executive Account Manager PT Infomedia Nusantara periode 2016–2018, Alam Hono
Sementara itu, dari klaster swasta, mereka yang turut dijerat ialah Andi Imansyah Mufti, Direktur Utama PT Forthen Catar Nusantara; Denny Tannudjaya, Direktur Utama PT International Vista Quanta; Eddy Fitra, Direktur Utama PT Japa Melindo Pratama; Kamaruddin Ibrahim, pengendali PT Fortuna Aneka Sarana dan PT Bika Pratama Adisentosa; Nur Hadiyanto, Direktur Utama PT Ata Energi; Oei Edward Wijaya, Direktur Utama PT Green Energy Natural Gas; RR Dewi Palupi Kentjanasari, Direktur Keuangan dan Administrasi PT Cantya Anzhana Mandiri; dan Rudi Irawan, Direktur Utama PT Batavia Prima Jaya.
Para terdakwa dijerat Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, serta Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.