Terlalu Sering Curhat ke AI, Risiko Kesehatan Mental Mengintai - Beritasatu
Terlalu Sering Curhat ke AI, Risiko Kesehatan Mental Mengintai
Kementerian Kesehatan imbau masyarakat tidak 100 persen andalkan informasi seputar kesehatan dari kecerdasan buatan (AI). (Freepik.com/Rawpixel)
Jakarta, Beritasatu.com- Masyarakat diimbau untuk mewaspadai dampak negatif terhadap kesehatan mental dari sering mencurahkan hati atau biasa disebut dengan istilah curhat dengan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan.
Psikolog Klinis RSUD Wangayar Bali, Nena Mawar Sari, mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati dalam menggunakan AI sebagai tempat berbagi perasaan atau curhat.
Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan Dorong Kesadaran K3 dan Kesehatan Mental Lewat Webinar Inspiratif
“Curhat dengan AI itu gambaran atau pantulan dari kode atau clue yang kita berikan. Tentu hasil atau feedback yang diberikan tidak memiliki unsur-unsur humanisnya,” ujar Nena, dikutip dari Antara, Jumat (24/10/2025).
5 Cara Mengelola Stres dengan Efektif untuk Kesehatan Mental dan Fisik
Ia menjelaskan, seseorang yang sedang bercerita atau mencari dukungan emosional pada dasarnya membutuhkan umpan balik yang hangat dan konstan dari manusia lain. Namun, ketika hal itu digantikan oleh AI, respons inilah yang berisiko menimbulkan salah pemahaman mekanis dan membuat penggunanya kehilangan arah emosional.
“AI itu sifatnya memantulkan dari apa yang penggunanya butuhkan dan memvalidasi perasaan tersebut. Khawatirnya, ketika momen orang sedang depresi atau yang sedang impulsif itu dijadikan sebagai suatu acuan baku atau realistis lalu takutnya jadi salah interpretasi dan tak ada sentuhan humanistiknya itu menyebabkan beberapa kejadian yang tak diinginkan',” jelasnya.
Nena menambahkan, ketergantungan emosional terhadap AI dapat dikenali dari beberapa tanda. Contohnya enggan berinteraksi dengan orang lain dan terlalu sering berkomunikasi melalui perangkat digital.
Nena mengatakan, tanda seseorang sudah terlalu bergantung secara emosional dengan AI, salah satunya tidak lagi mau melakukan komunikasi dengan manusia lainnya hingga menghabiskan banyak waktu dengan perangkat gawainya.
“Sering mengecek hand phone, hal yang sedetail-detailnya pun bertanya ke AI, kemudian dia juga menutup diri dengan orang lain, jadi biasanya akan bersikap antisosial,” ucap Nena.
Sebagai psikolog, ia menyarankan ketika merasa kesepian atau tidak memiliki teman untuk curhat bisa mencari dukungan berkonsultasi langsung dengan tenaga ahli seperti konselor, tenaga kesehatan mental seperti psikolog, psikiater.