SpaceX raih kontrak dari NASA untuk De-orbit ISS pada 2030 - Tek id

Pemerintah Larang Medsos dan e-Commerce Gabung, Ini Kata Pengamat - detik

 

Pemerintah Larang Medsos dan e-Commerce Gabung, Ini Kata Pengamat

By Aisyah Kamaliah
detikcom
September 15, 2023
Pemerintah merencanakan pemisahan ecommerce dan dan media sosial. Pengamat memberikan pendapatnya soal hal tersebut. Foto: iStock
Pemerintah merencanakan pemisahan ecommerce dan dan media sosial. Pengamat memberikan pendapatnya soal hal tersebut. Foto: iStock
Jakarta-

Pemerintah merencanakan pemisahan ecommerce dan media sosial. Model bisnis ecommerce TikTok terancam dilarang di Indonesia. Hal ini mendapatkan respon dari banyak orang, khususnya mereka yang terjun langsung berjualan di medsos. Tak ketinggalan, pengamat pun memberikan pendapatnya mengenai hal itu.

Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) M. Tesar Sandikapura mengatakan fenomena social commerce adalah hal yang wajar di era sekarang. Apalagi, untuk generasi muda yang berusia 30 tahun ke bawah.

"Konsumen sekarang kebanyakan 30 tahun ke bawah karena itu yang aktif di medsos dan sehari-hari mereka cari hiburan, megang HP, lihat apa. Efeknya, ada yang jualan di sana (medsos) karena ada pasarnya," ujar Tesar.

Ada beberapa faktor yang membuat ini terjadi. Pertama adalah teknologi mobile di mana hampir semua orang sudah memiliki yang namanya HP. Lalu, ada cloud computing yang membuat penyedia platform tidak mengalami kesulitan lagi. Ketiga, adalah peranan social channel. Terakhir, ada big data yang biasa menempel di platform sehingga target audiensnya lebih tepat sasaran.

"Makanya kenapa jualan di TikTok dia laku, karena algortima-algoritma di baliknya itu," katanya.

Nah, karena teknologi cenderung lebih cepat ketimbang regulasi, pemerintah diharapkan bisa memberikan regulasi dengan adil. Pemerintah harus memanggil semua pihak sehingga cover both side.

"Titik temu hadir ketika ada pembicaraan seperti ini. Tapi prinsipnya regulasi harus melindungi segala pihak," ucap Tesar.

"Kadang ketika ada sesuatu yang punya impact besar, mempengaruhi banyak orang, ujung-ujungnya diblock. Harusnya nggak begitu, pikirkan masak-masak stakeholder dan cari titik tengahnya. Memang mencari titik tengahnya yang makan waktu," lanjutnya.

Selain itu, Pengamat Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati juga mengatakan hal senada. Menurutnya, social commerce adalah bentuk perubahan yang wajar terjadi.

Pertama kali, orang mengenal yang namanya classified. Classified adalah platform yang mempertemukan penjual dan pembeli, selesai di sana. Nah, classified ini memiliki unsur perlindungan konsumen yang minim karena transaksi di lakukan di luar platform.

"Tidak ada yang memastikan barang dikirim atau tidak dan kalau dikirim benar apa nggak, karena tidak ada jaminan. Maka dari itu ada bisnis model kedua yakni eretail," kata Untung.

Dari eretail, berbondong-bondong semua bertransformasi ke marketplace. Konsepnya mirip classified, hanya platform ini bisa beriklan atau mempromosikan, pembeli bisa membeli, dan untuk memperbaiki maka pembayaran dan logistik dikontrol marketplace. Dengan begitu ada proteksi dari dua sisi.

Kini, eranya mulai sedikit bergeser ke social commerce di mana orang-orang sudah mulai nyaman menggunakan medsos sekaligus untuk berbelanja.

"Orang bisa beli barang ketika tidak berencana selama nyaman," tandasnya.

Simak Video " TikTok Rambah Layanan Music Streaming, Segini Tarif Langganannya"
[Gambas:Video 20detik]
(ask/ask)

Komentar

Baca Juga (Konten ini Otomatis dan tidak dikelola oleh kami)

Antarkabarid

Arenanews

Berbagi Informasi

Kopiminfo

Liputan Informasi 9

Media Informasi

Opsi Informasi

Opsiin