Mobil listrik vs mobil hidrogen: Mana yang lebih unggul?

Di tengah krisis iklim dan lonjakan harga energi global, teknologi transportasi kini berada dihadapkan dengan dua arus utama: Battery Electric Vehicle (BEV) alias mobil listrik berbasis baterai, dan Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) atau mobil berbahan bakar hidrogen. Keduanya menjanjikan, karena dapat menekan emisi karbon dan lebih efisien dalam penggunaan energi.
Mengapa Dunia Mencari Alternatif?
Selama lebih dari satu abad, kendaraan berbasis bahan bakar fosil menjadi tulang punggung mobilitas manusia. Namun, dampak yang dihasilkan sudah berada di batas toleransi, terutama dampak polusi dan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Laporan IPCC menyebutkan bahwa sektor transportasi menyumbang hampir seperempat dari total emisi global. Maka, kendaraan nol emisi bukan lagi gaya hidup, melainkan kebutuhan.
BEV: Baterai yang Terus Mengisi Harapan
Mobil listrik berbasis baterai kini jadi primadona. Produk BEV melesat dengan hadirnya Tesla, BYD, dan Hyundai yang saat ini mengganggu kemapanan mobil konvensional, tidak terkecuali di Indonesia. Keunggulan utamanya? Efisiensi. Sekitar 77% energi dari listrik bisa langsung digunakan untuk menggerakkan roda. Sebagai perbandingan, FCEV hanya menyimpan sekitar 33% energi dari proses konversi hidrogen. Tak hanya efisien, biaya pengoperasiannya pun jauh lebih murah. Mengisi daya di rumah bisa cukup dengan tarif listrik malam hari. Infrastruktur pengisian daya juga tumbuh pesat, dari SPKLU di kota besar hingga stasiun pengisian ultra-fast di jalan tol. Namun, BEV juga punya keterbatasan. Waktu pengisian daya masih relatif lama dibandingkan pengisian bahan bakar konvensional. Selain itu, jangkauan per perjalanan masih menjadi tantangan, meskipun kini banyak model yang sudah menembus angka 400 km dalam sekali isi.
FCEV: Hidrogen, Si Kuda Hitam
Berbeda dengan BEV, mobil hidrogen menghasilkan listrik di dalam mobil lewat proses kimia antara hidrogen dan oksigen. Hasilnya adalah energi listrik dan uap air. Secara teori, ini adalah teknologi paling bersih. Kelebihannya? Seperti halnya mobil konvensional, mengisi bahan bakar hidrogen hanya butuh 3–5 menit, dan jarak tempuhnya bisa sangat jauh. Maka tak heran jika FCEV dianggap cocok untuk kendaraan berat, truk logistik, hingga transportasi jarak jauh. Tantangan FCEV justru ada di balik layar: produsen mobil hidrogen butuh meyakinkan perusahaan energi untuk menyediakan bahan ini. Sebagian besar masih berbasis bahan bakar fosil, dan infrastrukturnya masih belum terkonsolidasi. Bahkan di negara-negara maju, jumlah stasiun pengisian hidrogen masih bisa dihitung jari.
Perbandingan Terhadap Biaya dan Efisiensi
Sebuah studi dari Energies (2023) menunjukkan bahwa biaya energi untuk menggerakkan FCEV bisa mencapai USD 2/kWh, sedangkan BEV hanya sekitar USD 0.7/kWh. Artinya, FCEV masih lebih mahal dalam jangka panjang, kecuali harga hidrogen turun drastis di bawah USD 1.5/kg. Secara biaya, BEV masih lebih unggul. Selain itu, efisiensi rantai energi BEV dari sumber ke roda jauh lebih unggul, atau dengan kata lain BEV sistem penggerak BEV lebih sederahana, yang membuatnya lebih menarik untuk diadopsi secara massal.
Siapa yang Lebih Unggul?
Jika melihat tren saat ini, BEV unggul dalam hal produksi massal, biaya, infrastruktur, dan penerimaan pasar. Namun bukan berarti FCEV tidak punya potensi. Teknologi hidrogen masih bisa berkembang di sektor-sektor spesifik seperti transportasi berat, industri logistik, dan daerah terpencil yang sulit dijangkau listrik.
Dalam skenario terbaik, BEV dan FCEV bukanlah musuh, melainkan pelengkap. Seperti sepeda dan kereta: berbeda fungsi, tapi satu tujuan. Transisi menuju transportasi hemat energi bukan soal siapa yang lebih baik, tapi bagaimana Indonesia bisa memanfaatkan setiap teknologi sesuai kebutuhannya. Indonesia, dengan kombinasi wilayah kepulauan dan ambisi net-zero emissions di 2060, perlu mengembangkan strategi yang tidak hanya mengikuti tren global, tetapi juga realistis dengan tantangan lokal. BEV mungkin lebih dulu sampai ke garasi kita. Tapi FCEV masih bisa mengejar dengan syarat: inovasi berkelanjutan, investasi serius, dan ketersediaan energi di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar